JALAN ke arah Kampung Bojongloa itu menanjak dan berbatu. Di sisi kanan , jurang-jurang menganga sementara di sisi kiri tebing-tebing setinggi sekitar 5 meter dipenuhi rumpun bambu dan pohon-pohon khas hutan seperti kiara. Sekali-kali mobil yang kami tumpangi juga melewati lahan pertanian penduduk. Pohon-pohon jagung tumbuh dengan suburnya. Penampakannya seolah barisan tentara berseragam hijau yang tengah berbaris rapi.
Di bagian depan mobil, seorang bocah ber-seragam sekolah dasar tengah ngobrol dengan Deddi Rustandi. Kepada kawan saya yang jurnalis Sumedang itu, ia menyatakan keinginannya memiliki sepeda kecil untuk membuat perjalanannya ke SDN. Padasuka I bisa berlangsung lebih cepat. Sekali-kali kawan saya yang tengah memegang setir, Imam Rachmadi menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan lucu.
“ Jadi besok kamu memilih ke Jakarta untuk diwawancarai tivi atau menemui orang yang akan kasih kamu sepeda?” tanya Deddi.
Bocah itu memandang sejenak ke wajah Deddi. Binar matanya lantas beralih menatap lurus jalanan. Setelah menemukan keputusan, dengan mantap dan sambil tersenyum manis, ia menjawab: “ Aku memilih sepeda…” Deddi dan Imam tertawa. Begitu juga saya dan Basyit yang ada di belakang mereka ikut tertawa.
Ridwan Gunawan, anak sebelas tahun itu memang cepat membuat kami jatuh hati. Kendati secara fisik, ia tak berbeda dengan bocah-bocah kampung lainnya: berkulit hitam dan wajahnya dipenuhi bercak putih balas bogo (sejenis penyakit kulit yang lazim dimiliki anak-anak kampung), namun binar matanya yang menyiratkan ketabahan dan mulutnya yang selalu tersenyum menjadikan kami memiliki kesan khusus kepadanya.
Dari Rumah Sakit Umum Sumedang, tempat ayah dan kedua kakak Ridwan dirawat karena penyakit kelumpuhan, kami langsung bergerak ke SDN. Padasuka I di Desa Girimukti untuk menjemput Ridwan. Rencananya memang kami akan ke rumah Ridwan untuk menyerahkan dua kursi roda sumbangan Pak Sjaftari Wiranegara dan Bung Rian Da serta sumbangan hasil patungan kawan-kawan kami dari komunitas di media sosial Facebook.
**
HARI baru saja menjelang senja. Matahari masih bertahan nyaris mendekati ufuk barat. Ridwan baru saja menyepak bola plastik , saat ia mendengar teriakan panik dari arah rumahnya yang hanya terletak sepelemparan batu di bawah lahan tempat ia bermain sepakbola dengan kawan-kawannya. Tanpa babibu, Ridwan kemudian berlari dan menemukan sang ayah, Adeng (46) tengah tertelungkup dan berusaha dibantu oleh para tetangganya untuk bangkit lagi.
Di bagian depan mobil, seorang bocah ber-seragam sekolah dasar tengah ngobrol dengan Deddi Rustandi. Kepada kawan saya yang jurnalis Sumedang itu, ia menyatakan keinginannya memiliki sepeda kecil untuk membuat perjalanannya ke SDN. Padasuka I bisa berlangsung lebih cepat. Sekali-kali kawan saya yang tengah memegang setir, Imam Rachmadi menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan lucu.
“ Jadi besok kamu memilih ke Jakarta untuk diwawancarai tivi atau menemui orang yang akan kasih kamu sepeda?” tanya Deddi.
Bocah itu memandang sejenak ke wajah Deddi. Binar matanya lantas beralih menatap lurus jalanan. Setelah menemukan keputusan, dengan mantap dan sambil tersenyum manis, ia menjawab: “ Aku memilih sepeda…” Deddi dan Imam tertawa. Begitu juga saya dan Basyit yang ada di belakang mereka ikut tertawa.
Ridwan Gunawan, anak sebelas tahun itu memang cepat membuat kami jatuh hati. Kendati secara fisik, ia tak berbeda dengan bocah-bocah kampung lainnya: berkulit hitam dan wajahnya dipenuhi bercak putih balas bogo (sejenis penyakit kulit yang lazim dimiliki anak-anak kampung), namun binar matanya yang menyiratkan ketabahan dan mulutnya yang selalu tersenyum menjadikan kami memiliki kesan khusus kepadanya.
Dari Rumah Sakit Umum Sumedang, tempat ayah dan kedua kakak Ridwan dirawat karena penyakit kelumpuhan, kami langsung bergerak ke SDN. Padasuka I di Desa Girimukti untuk menjemput Ridwan. Rencananya memang kami akan ke rumah Ridwan untuk menyerahkan dua kursi roda sumbangan Pak Sjaftari Wiranegara dan Bung Rian Da serta sumbangan hasil patungan kawan-kawan kami dari komunitas di media sosial Facebook.
**
HARI baru saja menjelang senja. Matahari masih bertahan nyaris mendekati ufuk barat. Ridwan baru saja menyepak bola plastik , saat ia mendengar teriakan panik dari arah rumahnya yang hanya terletak sepelemparan batu di bawah lahan tempat ia bermain sepakbola dengan kawan-kawannya. Tanpa babibu, Ridwan kemudian berlari dan menemukan sang ayah, Adeng (46) tengah tertelungkup dan berusaha dibantu oleh para tetangganya untuk bangkit lagi.
“ Ti dinya (dari situ), saya tak mau lagi jauh-jauhan dari mereka,” ungkap bocah kelas lima yang sejak awal sekolah prestasi akademiknya tak pernah keluar dari wilayah tiga besar itu.
Adeng menderita lumpuh sejak 17 tahun yang lalu dan sekarang praktis tinggal di rumah saja. Begitu juga anak tertuanya, Holidin Abadi (24) yang menderita lumpuh pada usia 16 tahun serta adiknya Devi Trisnawati (21) juga lumpuh sejak enam tahun lalu. Ridwan memang memiliki seorang kakak yang sehat. Namanya Sukma Wiguna (18). Tapi kini, kakaknya tersebut harus keluar kota mencari pekerjaan. Begitu juga dengan ibunya, Sartini (45) yang kini bekerja pada sebuah pabrik di Bandung. Lantas siapa yang mengurusi ketiganya? “ Ya siapa lagi, kalau bukan saya…” ujar Ridwan. Setiap pagi usai shalat subuh, saat kawan-kawan sebayanya di kota mungkin masih terlelap, dengan rasa sayang ia memandikan ayah dan kakak laki-lakinya itu. Untung Devi masih bisa mengurusi dirinya sendiri. Ia juga yang selama ini “masak” untuk keperluan makan keluarga luar biasa itu.
“ Ya tiap hari bisanya hanya masak mie…” kata Devi saat saya ngobrol dengannya di ruang Sakura, RSU. Sumedang.
Bahkan bukan hanya sekadar mengurusi, Ridwan pun bisa dikatakan berfungsi sebagai tulang punggung keluarga. Pulang sekolah (yang ia tempuh dengan berjalan kaki sejauh sekitar 2 km), ia langsung menjajakan goreng-gorengan (yang ia ambil dari warung di depan rumahnya) ke kampung-kampung sekitar rumahnya. Tentu saja itu dilakukan lagi-lagi dengan berjalan kaki.
“ Saya berdagang sambil teriak-teriak: gorengannnnn, baradeeee (ayo siapa mau),” kata Ridwan sambil tertawa riang.
“ Lalu berapa yang kamu dapat dari berdagang gorengan itu?” tanya saya.
“ Ya, enggak tentu, ada tiga ribu rupiah, kadang dapat juga enam ribu rupiah tergantung banyak dan tidaknya gorengan yang terjual,”ujarnya.
“Memang cukup buat makan?” tanya saya lagi.
"Ya enggaklah, Pak. Tapi kan saya bisa berutang ke warung depan untuk nambahin kekurangannya…” ujarnya sambil kembali tertawa. Saya pun ikut tertawa. Ya sejatinya itu saya lakukan sekadar untuk menutupi “ rasa sedih dan sakit” saya mendengar cerita-ceritanya.
***
DALAM wajah sumringah, Ridwan mengelilingi dua kursi roda yang ada dihadapannya. Sekali-kali, ia berjongkok, memegang bagian besi-besi kokoh yang ada di bagian bawah kursi-kursi roda itu. Tiba-tiba ia menengadahkan kepalanya menghadap Basyit: “ Kalau bapak mau buang hajat, saya harus pindahkan dia dong, padahal kan kursi roda ini besar banget engggak cukup masuk kamar kecil,” tanyanya serius.
“ Ya mudah aja, Wan. Kamu tinggal buka bagian ini aja…” ujar Basyit seraya mengangkat bagian busa ayang ada di jok kursi roda berwarna hitam itu dengan tangan kirinya.
“Lalu kalau mau ngerem, gimana? “ tanyanya lagi.
Basyit kali ini tidak menjawab. Ia hanya menyentuh tuas yang terdapat pada bagian belakang kursi roda itu. Ridwan tersenyum. Cepat mengerti. Ia lalu meraih sebuah buku yang disumbang-kan Mbak Linda Razad, salah seorang kawan di media sosial, membuka lembaran demi lembarannya dalam mulut yang selalu tak meninggalkan senyum.
Kami sejenak terdiam melihat pemandangan itu. Saya sendiri tidak tahu apa yang ada dalam benak Imam, Basyit, Deddi dan kawan-kawan yang saat itu ada di situ. Bisa jadi kami memiliki perasaan yang sama: terenyuh.
Sebelum pamit, saya lantas mengajak Ridwan ke bagian belakang. Saya raih pundaknya dan mengajaknya bicara-bicara banyak hal yang ringan-ringan. Mulai kawan-kawannya hingga cita-cita-nya ketika suatu hari ia akan menjadi orang dewasa.
"Saya ingin jadi guru,” katanya. "Kenapa jadi guru? Mengapa enggak jadi dokter atau tentara atau insinyur?” tanya saya lagi.
"Guru pekerjaan mulia, ia kerjaannya membagi ilmu. Lagian bapak senang saya jadi guru. Apa yang ia senangi saya akan senangi…” ujarnya datar. Tenggorokan saya tercekat. Saya menatap bocah yang gaya bicaranya mengingatkan saya pada Haikal, keponakan saya di Cianjur.
"Wan…Kamu ikhlas mengurusi bapak dan saudara-saudara kamu?”
"Ikhlas…Saha deui (siapa lagi) yang akan mengurusi mereka atuh, Pak?”
"Saya berdoa, kamu bisa menjadi seorang guru bahkan dosen atau professor suatu hari kelak…”kata saya.
Jalan ke arah Sumedang dari Kampung Bojongloa itu menurun dan berbatu. Di sisi kiri , jurang-jurang menganga sementara di sisi kanan tebing-tebing setinggi sekitar 5 meter dipenuhi rumpun bambu dan pohon-pohon khas hutan seperti kiara. Di bagian belakang mobil, saya sempat terdiam dan agak malas bicara. Sementara itu di radio (yang saya dengar lewat headset dari telepon genggam) seorang kawan lama yang sekarang menjadi aktivis anti korupsi masih berteriak-teriak mengecam ketidakjelasan sikap Presiden Jokowi. Huh, betapa hari ini melelahkan...
Sumber: Catatan Hendi Jo
0 komentar
Post a Comment