Saturday, March 25

Sekilas Tentang Kiyai Ahmad Ishomuddin (Gus Ishom)

Oleh: KH. Muhammad Husein (Buya Husein) Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al Tauhid Arjawinangun Cirebon

Tanggal 20 Maret 2017, aku diundang PP. Lakpesdam NU, untuk berembuk/rapat bersama sejumlah intelektual muda NU, antara lain Dr. Moqsit Ghazali, Dr. Syafiq Hasyim, kandidat Doktor Marzuki Wahid, Ala'i Nadjib dan lain-lain, mempersiapkan pelaksanaan program PPWK (Program Pengembangan Wawasan keulamaan), semacam kaderisasi ulama.

Sebelum acara dibuka, di sebuah ruangan, depan kantor Rois 'Am Syuriyah NU, aku dan beberapa teman ngobrol tentang situasi sosial keagamaan mutakhir, terutama soal Pilkada DKI dan kontroversi Publik, termasuk di tubuh PBNU, mengenainya. Aku bertanya banyak hal soal ini kepada teman-teman yang saban hari "ngantor" di PBNU, karena aku di Cirebon.


Di tengah perbincangan yang hangat, seru dan penuh kelakar, muncul kiyai Ishomuddin. Dia menyalami aku begitu hangat dan dengan sikap rendah hati. Aku merasa dia telah lama mengenalku. Aku mencoba mengingat-ngingat. Ya, aku mengenalnya saat Muktamar NU 32 di Makassar, 2010.

Beberapa teman memperkenalkan Kiyai Ishomuddin sebagai Kiyai muda dari Lampung, yang cerdas dan menguasai kitab Kuning, pengetahuanny tentang Fiqh cukup luas dan mendalam. Begitu dia duduk di sampingku, aku bilang "Anda adalah harapan masa depan". Dia spontan menjawab diplomatis "Semua kita adalah harapan masa depan". he he he...

"Aku kagum saat anda menjadi Saksi Ahli Ahok, dan sepertinya pandangan anda kontroversial", kataku. Dia tersenyum manis, semakin ganteng. Lalu aku bilang.

"Apakah anda mengalami situasi tak nyaman sesudah kesaksian itu".

"Ya, banyak orang mengkritik tajam dan sinis, mencaci maki dan tidak suka pada saya. Tetapi banyak juga yang simpati".

"Anda sangat berani", kataku "Saya menyatakan apa yang saya ketahui dari sumber-sumber Islam yang saya pahami. Saya telah membaca belasan kitab Tafsir tentang makna "Auliya". Semuanya tidak ada yang mengartikan "pemimpin", melainkan "teman setia", "koalisi", "Kekasih" dan yang semakna dengan itu. Meski ada juga orang, ulama Indonesia yang memaknai "Pemimpin". Ya terserah saja".

Lalu dia segera menambahkan: "saya siap untuk dikeluarkan dari posisi saya di PBNU sebagai Rois Syuriah dua periode dan di MUI pusat sebagai wakil ketua. Kedua jabatan "bergesi itu bukan atas permintaan saya".

Wow. Luar biasa.

Beberapa saat kemudian masuk rapat. Sampai pada soal pilihan kitab yang patut dibaca untuk seleksi calon peserta PPWK, kiyai Ishom menyebut nama-nama kitab klasik dengan fasih. Beberapa teman menyebut kitab "Al-Muhadzab". Ini diperdebatkan. Aku sendiri tak setuju. Aku mengusulkan nama kitab "Adab al-Dunya wa al-Din" karya Imam Mawardi, atau "al-Tibr al-Masbuk" karya Imam Ghazali.

Perdebatan tak selesai. "Bagaimana menurut kiyai Ishom?" Kata seorang teman. "Ya saya setuju "Al-Muhadzab", karya Abu Ishaq al-Syirazi. "Kalau kiyai Ishom sudah bilang itu, sepatutnya kita setujui, kan Rois Syuriah, kata kiyai Moqsit. Banyak yang setuju. Aku diam saja.

Aku menaruh harapan padanya.
Cirebon, 24-03-2017.

Catatan berikutnya.

Kiyai Ishomuddin I

Oleh: Dr. Syafiq Hasyim

Dalam empat hari terakhir ini, dunia sosmed dipenuhi berita-berita soal sahabat saya, Kiyai Ahmad Ishomuddin. Tanpa terpengaruh oleh berita tersebut, saya akan menulis sedikit pengetahuan saya tentangnya.

Terus terang, saya yidak mengenalnya sebagaimana saya mengenal ulama-ulama lain di dalam tubuh NU sebelum tahun 2015. Mungkin karena saya kurang update. Akhir 2014/awal 2015 saya balik ke Indonesia dari studi saya di Berlin dan hadir di Munas Ulama untuk persiapan Muktamar 2015 di Jombang.

Saya hadir pada sesi pembahasan yang berkaitan dengan hukum Islam (bahtsul masa'il) dan rapat itu dipimpin oleh seorang pemuda, sepantar saya, berkacamata tak terlalu tebal, menyandang slendang sorban, dan nampak gesit memimpin dan memoderatori sidang para ulama yang terhimpun dalam Forum Bahtsaul Masa'il.

Meskipun sebagai aktivitas lama di NU, saya penasaran, mengapa saya tidak kenal ulama muda ini. Mungkin karena saya 5 tahun lebih meskipun jadi Rais Syuriah PCINU Jerman, saya tidak mengamati dinamika internal NU.

Maka saya tanya ke samping kiri dan kanan, siapa pemimpin sidang? Sebelah saya menjawab, Kiyai Ahmad Ishomuddin. Penasaran saya, "siapa dia dan dari mana?" Dia ulama muda dari Lampung. Cukup jawaban itu karena saya sebenarnya lebih cukup cara dia memimpin, mengutip makhad aqwal ulama, merujuk dalil Qur'an dan hadits dan kitab-kitab rujukan di lingkungan NU.

Kesan pertama saya adalah dia pasti nyantrinya lama dan tekun membaca kitab. Dia bisa hafal makhad yang panjang-panjang. Hafal Qur'an dan hadits banyak kita jumpai, namun hafal makhad sebuah kitab, jarang orang terpelajar dan santri yang menghafalnya. Meskipun saya terkesan, saya tidak berkenalan langsung pada saat itu. Dalam hal ini, saya terkena kebiasaan lama, malu berkenalan dengan tokoh baru. Biar dia yang kenal saya

Tapi ternyata saatnya tiba. Kita berdua sama-sama diundang oleh STAIMAFA Kajen untuk membedah fiqih sosialnya Allah Yarhamhu Kiyai Sahal. Disinilah kemudian kita berkenalan lebih akrab, nginep di hotel yang sama, dan cari makan keluar sama-sama.

Dalam acara bedah pemikiran Kiyai Sahal, Kiyai Ishom bercerita soal kealiman dan kedalaman pemikiran Kiyai Sahal, sulit mencari tandingannya. Dia bukan santri langsung Kiyai Sahal namun dia berusaha membaca semua karya-karya Kiyai Sahal yang berbahasa Arab.

Keahliannya dalam bidang fiqh dan usul fiqih menyebabkannya mudah untuk menghubungkan garis pemikiran Kiyai Sahal dan mainstream pemikiran fiqih dan ushul fiqih para pemikiran besar Islam.

Dari pertemuan di STAIMAFA inilah kemudian saya dan Kiyai Ishom bertukar pemikiran secara intensif. Jika ada masalah yang menurutnya saya tahu can ahli maka dia telepon dan mengajak diskusi. Saya pun demikian.

Catatan berikutanya.

Kiyai Ishomuddin II

Bagi yang tidak mengenal tradisi NU, maka jabatan Rais Syuriah yang disandang oleh Kiyai Ishomuddin itu dianggap sama dengan jabatan-jabatan di organisasi-organisasi keagamaan lainnya. Tidak. Jabatan Rais di Syuriah ini adalah jabatan keulamaan dan keahlian.

Untuk menjadi Syuriah membutuhkan kualifikasi-kualifikasi yang harus dipenuhi dan tidak mungkin orang yang tidak bisa berbahasa Arab dengan baik, tidak mendalami hasanah kitab kuning-di dalam kitab kuning ini adalah kitab tafsir, hadits, fiqih, usuhul fiqih, tasawuf dan lain sebagainya-bisa diminta menjadi Syuriah.

Syuriah adalah penjaga dan penggali hukum Islam di dalam lingkungan organisasi NU. Hal yang paling penting, sepanjang pengetahuan saya, jabatan ini tidak diminta.

Kiyai Ishomuddin diangkat menjadi Syuriah, menurut cerita dia ke saya, adalah sejak zaman Rais Aam Syuriah di jabat oleh almaghfurllah Kiyai Sahal Mahfudz. Kiyai Sahal adalah kiyai yang dikenal sangat disegani karena kealimannya yang mendalam, ibarat samudera tanpa dasar, karena hemat dan irit bicara, dan karena asketismenya.

Beliau, kiyai Sahal, sangat menjaga pergaulannya terutama dengan para politisi. Dia adalah tipe kiyai yang paling ideal sebagai Rais Syuriah setelah Rais Akbar Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari dan kiyai Wahab Chasbullah.

Pada zaman kiyai Sahal inilah dia diajak untuk duduk menjadi Salah satu Rais Syuriah. Karenanya, jika ada orang yang meragukan kapasitas keilmuan kiyai Ishomuddin, layaknya orang tersebut tidak memahami lembaga Syuriah di dalam NU.

Kiyai Ishomuddin sudah terbiasa dengan memimpin rapat-rapat besar di dalam NU dari tingkat MUNAS sampai Muktamar. Dia adalah salah satu kunci sukses adanya perubahan sistem pemilihan jabatan Rais Aam yang dulunya langsung dipilih oleh cabang-cabang menjadi dipilih oleh ahlul halli wa al-aqdi.

Dalam Muktamar Jombang, kiyai Ishomuddin juga memimpin sidang besar dan saya teringat begitu riuhnya sidang pada saat itu karena kontroversi ide ahlu halli wa al-aqdi. Kubu alamaghfurlah Kiyai Hasyim menolak konsep ini. Akhirnya, muktamirin memutuskan pilihan jabatan Rais Aam melalui ahlul halli wa al-aqdi. Dalan hal ini, muktamirin memilih 9 ulama kharismatik, dan merekalah yang rapat untuk menentukan siapa yang menjadi Rais Aam. Sidang itu, sebagaimana umum tahu menghendaki Kiyai Mustofa Bisri sebagai Rais Aam, namum beliau tidak bersedia, lalu kiyai Maimun Zubair, beliau juga tidak bersedia, baru jatuh pilihan ke kiyai Ma'ruf dan beliau menyatakan bersedia.

Sebagai Rais Syuriah Kiyai Ishom terlibat dalam proses-proses penting organisasi seperti ini.

Di lingkungan UIN Raden Intan Lampung, kiyai Ishom juga sangat dihormati baik oleh Rektor maupun oleh Dekan Fakultas Syariah. Beberapa bulan lalu saya diundang ke UIN Raden Intan Lampung dan saya menyaksikan sendiri Kiyai ini memang mendapat tempat tersendiri di kalangan mereka.

Meskipun pendidikannya baru S2, namun keahlian dalam bidangnya, lebih banyak diperolehnya dari dunia pesantren. Jika ada orang mengatakan keahliannya diragukan karena hanya berpendidikan S2, maka berapa ratus Kiyai yang harus diragukan keahliannya karena rata-rata mereka bahkan tidak pernah kuliah apalagi mendapat S2.

Mereka mendapatkan keahlian di dunia pesantren dan kehebatan mereka tidak diragukan lagi. Saya mau bertanya adakah lulusan S2 dalam negeri kita yang mengarang kitab dalam bahasa Arab? Yang ada adalah lulusan pesantren. Ini tidak bermaksud merendahkan mutu lulusan S2, namun soal keahlian dalam bidang agama. Tidak melulu dihasilkan oleh pendidikan formal.

Demikian kurang lebihnya, wassalam.

0 komentar

Post a Comment