Monday, June 6

profil KH. Muhammad Nawawi Mojokerto (1886-1946)


Kiyai Haji Muhammad Nawawi adalahpendiri dan pengasuh pesantren Mangun Rejo, jagalan, Kota Mojokerto, Jawa Timur. Salah seorang perintis berdirinya Nahdlatu Ulama (Nu) di Mojokerto ini juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia sewaktu menjadi komandan Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Kiyai Nawawi lahir pada tahun 1886 di Dukuh lespadangan Desa Terusan, kecamatan gedeg, kabupaten Mojokerto sebagai putra pasangan Munadi dan siti Khalimah.

Ayahnya adalah seorang tukang yang sangat hormat kepada ulama. Kalau ada ulama yang membutuhkan jasa dan tenaganya, Munadi tidak meminta ongkos,tapi hanya minta dido'akan supaya kelak mempunyai keturunan yang sholeh dan sholihah, yang kelak menjadi orang alim dan intelektual yang mengabdi kepada agama dan bangsa.

Pada usia kanak-kanak, Kiyai Nawawi mendapat pendidikan ilmu tauhid dari ayahnya sendiri. Begitu memasuki usia sekitar tujuh tahunan, beliau dimasukan sekolah HIS-P (Hollandsch Inlandsche School Partikelir setungkat Sekolah Dasar) yang dikelola pihak swasta.

Lulus dari HIS-P, beliau diantar ayahnya ke jombang untuk nyantri dan berguru pada Syaikhuna KH. Hasyim Asy'ari di pondok pesantren tebuireng. Ada sebuah pesan dari ayahnha yang beliau ingat ketika melangkah memasuki gerbang pondok tebuireng: "Jadikan hidupmu berguna bagi agama dan bangsa." pesan ayahnya ini betul-betul membekas dalam diri beliau, hingga dewasa.

Bahkan tatkala beliau memimpin pasukan Laskar Hizbullah dan Sabilillah di tahun 1945-1946 pesan nasionalis relijius ayahnya ini disampaikan kepada segenap anak buahnya untuk memotivasi semangat juang mereka.

Selama nyantri di pondok pendiri NU ini, Kiyai Nawawi dikenal tekun menuntut ilmu dan waktu itu seperguruan dengan KH. Munasir Ali (wafat 2002), rekannya sesama orang Mojokerto di masa Revolusi kemerdekaan Indonesia.

Ketika pesantren tebuireng meliburkan para santri menjelang bulan Ramadhan, banyak santri yang pulang kampung. Sebaliknya beliau tetap tinggal di pesantren untuk mengikuti kegiatan pengajian kitab yang diadakan oleh pengurus pesantren selama bulan puasa.

Biasanya waktu itu Syaikhuna KH. Hasyim Asy'ari sendiri menggelar pengajian kitab hadist Shahih al-Bukhari sebulan penuh hingga khatam.

Ada pula kegiatan bahsul masail atau diskusi masalah-masalah keagamaan yang rajin diikuti Kiyai Nawawi, para santri dan asatiz.

Melalui forum intelektual seperti ini, wawasan keagamaan dan kebangsaan beliau tumbuh, hingga beliau sadar dan peka terhadap persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan keagamaan yang dihadapi masyarakat Indonesia sehari-hari di bawah penindasan pemerintahan Kolonial Belanda.

Dari tebuireng, Kiyai Nawawi kemudian berguru pada kiyai Chozin di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Kiyai Chozin dikenal sebagai Ulama tafsir dan guru besar sejumlah Ulama kenamaan di Jawa, termasuk Kiyai Hasyim Asy'ari dan putranya, Kiyai Wahid Hasyim.

Setelah itu beliau berguru pada Kiyai Sholeh dan Kiyai Zainuddin di pesantren Mojosari, Nganjuk, dan pada Syaikhuna Cholil di pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Jadi ada sekitar 15 tahun lamanya waktu yang dihabiskan beliau untuk mengembara mencari ilmu.

Sepulang dari menuntut ilmu pada tahun 1914 dalam usia sekitar 28 tahun Kiyai Nawawi menikah dengan Nyai Nasifah, putri seorang Kiyai kampung yang bernama Syafi'i dari dukuh mangunrejo. Kelurahan Jagalan, Kota Mojokerto. Pasangan baru ini lalu menetap di Dukuh Mangunrejo, Jagalan, dan dikaruniai enam putra-putri.

Beberpa tahun kemudian beliau menikah untuk kedua kalinya, yakni dengan Nyai Bannah, dan dikaruniai putra-putri. Putra sulung beliau, Abdullah Muhaimin, dari Nyai Bannah, diberi amanat melanjutkan mengurus pesantren sepeninggal ayahnya (kini bernama pondok pesantren An Nawawiyah, jalan Gajah Mada no 118 Kota Mojokerto).

Untuk menunjang kebutuhan ekonomi sehari-hari keluarganya, Kiyai Nawawi bekerja sebagai penjahit. Banyak Orang menjadi langganan beliau, bahkan orang-orang Belanda juga Banyak yang pesen pakaian kepadanya.

Beliau juga mendirikan musalla di samping rumahnya tempat anak-anak ngaji al-Qur'an dan kitab-kitab. Sebuah masjid juga dibangun dikampung kelahirannya, lespadangan yang kemudian diwkafkan kepada warga untuk di kembangkan.

Selama membawakan pengajian, Kiyai Nawawi selalu mengutip ayat-ayat al-Qur'an dan Hadist, dengan diselingi lantunan kidung-kidung jawa yang sarat ajaran moral dan pitutur budi pekerti dan etika. Selain mengasuh anak-anak sntri, Beliau juga menggelar pengajian umum di mushallanya itu yang dihadiri oleh masyarakat.

Beliau memang tidak pernah berkeliling memberikan pengajian umum Tapi mendatangkan penceramah yang merupakan teman-teman seperjuangan-Nya, Seperti KH. Khusaeri dan KH. Naser dari Damean, Greaik, untuk memnerikan pengajian umum di halaman mushalla-nya.

Ketika Nu berdiri pada tahun 1926, Kiyai Nawawi bersama teman-temannya membentuk cabang Jam'iyah Nu di Mojokerto pada tahun 1928 dan masuk ke dalam jajaran pengurus Syuriah. Salah satu tugas beliau adalah melakukan tabligh keliling dari desa ke desa di wilayah kabupaten Mojokerto, Mojosari, jetis, ngares, dan daerah lainnya.

Kiyai Munasir, kader muda Nu Mojokerto waktu itu, mengenang pengalamannya mengikuti pengurus Nu Mojokerto melakukan dakwah dan kunjungan ke ranting-ranting Nu dengan berkendara dokar.

Dalam kesempatan Muktamar Nu di Banjarmasin, Kalimantan selatan, pada tahun 1936, Kiyai Nawawi ikut hadir sebagai utusan Nu Mojokerto. Dari Banjarmasin, beliau memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru. Terutama yang menyangkut tanggung jawab Ulama kepada kehidupan masyarakat.

Salah satu keputusan Muktamar Nu yang ke- 11 itu menyebutkan bahwa negara Indonesia, meski dikuasai Belanda, adalah daru Islam, negeri muslim, dan tanggung jawab Ulama adalah menjaga kedaulatan negeri tersebut.

Untuk memperkuat basis pendidikan umat Islam di Mojokerto, bersama sejumlah pengurus Nu, Kiyai Nawawi kemudian mendirikan Madrasah. Awalnya madrasah itu ditempatkan di teras musalla milik KH. Zainal Alim yang letaknya di sebelah pasar pahing Kota Mojokerto.

Madrasah Ibtida'iyah kemudian dipindah ke Gang Kauman, sehingga masyarakat menyebutnya madrasah Kauman. Dalam perkembangannya kemudian, pada tahun 1976 madrasah tersebut berganti nama menjadi Madrasah Ibtida'iyah Al-Muhsinun.

Lewat madrasah Nu ini Kiyai Nawawi bukan hanya mengajar ilmu-ilmu agama seperti yang ditunjukan di pesantrenya, tapi juga mengajar anak-anak semangat patriotisme bela negara.

Cara Kiyai Nawawi menanamkan rasa cinta tanah air dan bangsa kepada murid-murid dengan kreatif. Teks lagu Indonesia Raya beliau terjemaahkan dengan lengkap kedalam bahasa Arab.

Selain untuk mengajarkan pelajaran bahasa Arab, itu juga ditunjukan untuk menghindari sensor polisi kolonial Belanda yang waktu itu memang sangat ketat pengawasannya terhadap sekolah-sekolah swasta.

Guru beliau di pondok Siwalan Panji, Kiyai Chozin, juga ikut mengajar di madrasah tersebut, termasuk Kiyai Muhammad dari Porong, Sidoarjo.

Kiyai Nawawi menjalani hidup dengan memperbanyak keprihatinan. Sehari-harinya hanya makan ganyong (ubi) saja.

Kepada santri-santrinya beliau selalu berpesan, kalau makan jangan tergoda harus makan nasi melulu, apalagi mau yang enak-enak.
Makanlah apa adanya, adanya ketela, makan ketela; adanya ganyong, ya makan ganyong. Jangan suka memanjakan diri, nanti tidak tahan melawan penjajah!
Demikian nasihat beliau kepada santri.

Di masa pendudukan tentara Jepang, muncul pembatasan terhadap segenap kegiatan organisasi politik maupun organisasi kemasyarakatan.

Namun Demikian, Kiyai Nawawi tetap menghidupkan kegiatan-kegiatan ke-NU-an dengan memakai nama "Ahlussunnah Wal Jama'ah". Meski secara keorganisasian Nu tidak diperbolehkan muncul di ruang publik, Namun dakwah keagamaan tetap berjalan seperti biasa.

Demikian pula pengajaran patriotisme "cinta tanah air dan bangsa adalah sebagian dari iman" selalu didakwahkan oleh Kiyai Nawawi demi menggerakan semangat juang rakyat kita agar ikut mempersiapkan diri berperang melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan.

Setelah Laskar Hizbullah diijinkan berdiri pada Oktober 1944, di Mojokerto mobilisasi pemuda untuk petahanan rakyat itu diprakarsai oleh Kiyai Ahyat Halimy, Mansur Solikhi, Munasir, Manadi, Mustakim dan Abdul Halim.

Dan kesempatan ini dimanfaatkan oleh Kiyai Nawawi untuk mengkader anak-anak muda untuk pendidikan bela agama dan bela negara.

Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ancaman terhadap Republik Indonesia mulai muncul. Tentara Belanda kembali hadir dengan membonceng kedatangan tentara Inggris ke Indonesia.

Saat itu ancaman terhadap keutuhan Republik Indonesia yang baru merdeka mulai terasa di Surabaya, 20 kilometer dari Mojokerto, mulai akhir Oktober 1945 hingga meledak menjadi perang besar 10 November 1946 yang kemudian dikenal sebagai hari Pahlawan.



Para pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR, cikal bakal TNI) dan lasakar rakyat di daerah pinggiran Surabaya dari sepanjang hingga Krian, Sidoarjo, berupaya membendung laju pasukan Inggris, agar tifak masuk Sidoarjo dan Mojokerto.

Saat itu Walikota Surabaya Rajiman Nasution Gelar Sutan Komala Pontas menghadiri pertemuan Para Ulama, tokoh masyarakat dan Para anggota Laskar di gedung markas Hizbullah Mojokerto.
Saudara-Saudara, pertempuran dahsyat telah terjadi tadi malam di sepanjang, Surabaya (akhir November 1945). Insya Allah, siang hari ini pergerakan tentara dan Laskar kita Akan dilanjutkan oleh karena Belanda bermaksud masuk ke Mojokerto" jelas Walikota Rajiman.
Siap-siap yang sanggup ke garis depan, supaya mencatatkan diri nanti, dan Akan diatur pemberangkatannya."


Tiba-tiba seorang Kiyai mengangkat telunjuk jari kanannya sebagai tanda kesediaannya untuk diberangkatkan ke medan pertempuran di Surabaya. Dan ternyata Kiyai itu adalah Kiyai Nawawi.

Kiyai Nawawi kemudian mendapat tugas memimpin pasukan Laskar Sabilillah dan Hizbullah ke daerah Sepanjang dan Krian untuk membendung pergerakan tentara Inggris dan Belanda ke arah barat.

Sebelum berangkat menuju medan perang, beliau ngaji dulu di Mushallanya. Demikian kebiasaan beliau setiap Akan berangkat ke medan laga.

Saat itu Para santri beliau dan Para anggota Laskar diberi wejangan singkat Namun padat dan mantap untuk membangkitkan semangat juang.

Selanjutnya, masing-masing anak buah beliau diberi 7 (tuju) buah kerikil. Ahmad Syueb, Salah seorang santri beliau, mengaku kaget setengah mati Setelah melihat dan merasakan sendiri bagaiman sebiji kerikil itu bisa membuat ledakan dahsyat seperti mortar di arena pertempuran.

Kiyai Nawawi memperlihatkan kepemimpinannya dan terlibat langsung langsung dalam pertempuran melawan tentara Belanda di garis depan Sepanjang, kedurus, dan Kletek.

Di kalangan anak buahnya, kiyai Nawawi dikenal sebagai seorang pejuang yang tidak takut kena peluru. Kabarnya beliau memburu lawan dengan mengayun-ngayunkan sebuah payung yang selalu dibawanya seperti sebuah tongkat.

KH. Muhammad Nawawi gugur sebagai Syuhada membela agama dan negara pada tanggal 22 Agustus 1946 dalam sebuah pertempuran di Dusun Sumantoro, Desa Plumbungan, Kecamatan Sukodono, kabupaten Sidoarjo.

Tentara Kompeni mengepung beliau hingga menghabisinya dengan kejam: Kompeni membrondong peluru hingga puluhan kali ke dada dan kepala beliau.... Allah yarhamhu...

Kiyai Nawawu kemudian dimakamkan di pemakaman umum Desa Losari Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto.

Untuk menghormati dan mengenang darma baktinya pemerintah Kota Mojokerto pada tahun 1967 mengabadikan perjuangan kiyai Muhammad Nawawi menjadi sebuah nama jalan, yaitu jalan KH. Nawawi yang menghubungkan antara jalan Residen Pamuji dengan jalan Bhayangkara.
Lahumul faatihah.

Sumber: Yai Ahmad Baso


0 komentar

Post a Comment