Sunday, October 2

Ibuku Perempuan Biasa


Oleh: Yahya Amin

Ibuku perempuan biasa
seperti wanita desa pada umumnya mengurus rumah tangga, berbakti kepada suaminya dan kasih sayang kepada anaknya dari sorot matanya dan cara bicaranya, terlihat kecerdasannya dia lulus SR zaman bahuela dan belajar mengaji kepada ustadzah desa

Ibuku perempuan biasa
dia menyiapkan sarapanku menjelang sekolah dari SD hingga sekolah menengah, dua belas tahun istiqamah kadang membuatnya kadang membeli dari tetangga sebelah dia yang memasakkan orang serumah, delapan jiwa berjumlah tanpa pembantu atau khadimah dia menikmati perannya tanpa rasa gundah apalagi susah aku merasakan masa anak dan remaja yang indah dengan semangat yang membuncah

Ibuku perempuan biasa
yang biasa membanggakan anaknya pernah aku memergokinya memperlihatkan nilai raporku kepada temannya karena di kelas aku juara, tentu dengan nilai bagusnya

Ibuku perempuan biasa
waktu aku lulus SMA dan menuntut ilmu di luar kota IPB nama perguruan tingginya, di Bogor kotanya dia melepasku dengan mata berkaca bibirnya bergetar tak henti melantunkan doa agar aku segera lulus sarjana, sukses dan mulia di akhirat dan dunia

Ibuku perempuan biasa
dia amat senang dan gembira melihatku kuliah S2 di Universitas Gadjahmada, di kota Yogyakarta sana dengan beasiswa perusahaan negara apalagi waktu aku diwisuda, terlihat wajahnya cerah ceria dan amatlah bangganya, dikiranya aku paling pintar se-dunia

Ibuku perempuan biasa
dengan pikiran yang sederhana, seperti kebanyakan wanita desa waktu aku menyampaikan kepadanya ingin ikut Pemilukada dia tidak percaya, itu tidak pernah terbayang olehnya lebih dari lima tahun aku harus meyakinkannya sampai dia ikhlas dan ridha aku merasa susah bukan karena Pemilukada kalah namun karena melihatnya gundah

Ibuku perempuan biasa
bisa trauma karena Pilkada aku sengaja bergaya seperti biasa, seolah tak ada apa-apa waktu hari raya Idhul Adha aku berqurban seperti biasa untuk anak, istri dan orang tua, itu seperti sebelum Pilkada dia tidak tahu keadaanku sebenarnya yang pasti sudah tidak seperti semula

Ibuku perempuan biasa
traumanya belum tuntas juga aku harus berpikir lain dari biasa dan wajib menyembuhkannya aku bersyukur masih bekerja di BUMN yang lancar jaya dan ada usaha yang laris dan baraka zakat dan derma selalu kulewatkan dia, bahkan dari sahabatku juga dan itu banyak jumlahnya, bisa lebih dari biasanya di hari Asyura ada acara menggembirakan anak yatim di kampungnya aku sedekah atas namanya yang sengaja kuperbanyak angkanya

Ibuku perempuan biasa
dia mulai bisa tertawa meski belum seperti adatnya aku berusaha menghiburnya dengan mengajak umrah sekeluarga namun dia tidak mau, karena tahu aku sudah tidak seperti dulu mungkin juga masih belum bisa lupa waktu haji berdua aku sering mengingatkannya hingga dia curhat kepada kakak tertua, aku lebih cerewet dari suaminya

Ibuku perempuan biasa
sudah sembuh segala trauma qurban, sedekah dan umrah obatnya sebagai bukti dia tak trauma lagi dia bisa tertawa dengan suara yang khas sekali hingga terlihat kebanyakan gigi waktu zakat dan sedekah dibagi, dia berkata penuh misteri: “Ini zakat dan sedekah anakku yang kalah nyalon bupati..” aku tertawa di dalam hati, geli sendiri dan berjanji akan mengulangi karena yakin sekali qurban, sedekah dan umrah adalah investasi bukan biaya atau cost lagi investasi akhirat sudah pasti, investasi dunia juga terbukti

Ibuku perempuan biasa
dalam tujuh puluh empat tahun usianya masih tampak gurat kecantikannya, pantas ayahku jatuh hati kepadanya uang pensiunnya lebih dari satu juta cukup untuk hidup di desa apalagi aku dan saudaraku tetap memberi jatah bulanannya sebenarnya dia sudah berusaha menolaknya namun kami tetap memaksa sebagai tanda sayang kepada ibunda meski itu takkan bisa membalas budinya dia merasa uangnya banyak sekali belum habis sudah datang lagi, hingga bisa sedekah setiap hari terutama di hari Jumat di waktu masih pagi syukurnya kepada Ilahi Robbi sungguh tiada terperi

Ibuku perempuan biasa
dia adalah bidadari pertama dan keramatku satu-satunya di dunia apalagi setelah ayahanda tiada aku ingin mengajak umrah bersama, namun dia belum bersedia karena tak mau merepotkan anaknya aku pun memutar cara, kukatakan aku yang membutuhkannya disana orang yang mulia, perempuan yang mulia, ibunda yang mulia di tempat yang mulia, di depan Masjidil Haram yang mulia di waktu yang mulia, sedang umrah dan thawaf untuk Yang Mahamulia dengan pakaian ihram yang mulia, dengan cara yang mulia dan berdoa hanya kepada Yang Mahamulia alangkah mustajabahnya, alangkah indahnya semoga dia berkenan karenanya karena cintanya kepada anaknya tak terkira sepanjang masa

Ibuku perempuan biasa
jika bertemu dengannya, satu bulan satu kali paling lama kucium tangannya tidak itu saja kucium juga kedua pipinya tidak itu saja kupeluk dia mesra aku percaya pada saatnya anak-anakku akan melakukan hal yang sama memeluk dan menciumku juga karena aku percaya kepada sabdanya: "Berbaktilah kepada kedua orang tuamu niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu.” aku juga percaya kepada sabdanya yang lainnya: "Ada satu perbuatan yang pahalanya disegerakan di dunia yaitu berbakti kepada orang tua, terutama ibunda..”

Ibuku perempuan biasa
biasa bagi orang lainnya, namun untukku dan anak-anaknya ibuku bukan perempuan biasaibuku perempuan yang luar biasa paling hebat se dunia..!


0 komentar

Post a Comment