Tuesday, November 8

Ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan dari kursi Presiden



Dulu, ya dulu, saya mungkin anda juga punya presiden yang woles bin santai. Terkadang dia menempuh jalan kontroversial demi mengamankan visinya. Bukan visi politik, melainkan visi kebangsaan.

Dia menjelajah puluhan negara dalam beberapa bulan saja untuk mengamankan jaringan internasional agar Indonesia yang mulai tidak stabil dihantam konflik sektarian dan krisis moneter tidak dibalkanisasi oleh negara-negara besar, sebagaimana Yugoslavia dibagi-bagi persis kue tart oleh NATO.

Ketika konflik Ambon semakin memanas, dia menolak memberangkat-kan Banser yang menunggu komandonya ke sana agar tidak menambah ruwet persoalan. Dia bahkan menemui demonstran LASKAR JIHAD pimpinan Jakfar Umar Thalib, dan berusaha mencegahnya agar tidak berangkat ke Ambon. Sayang, mayoritas anggota DPR yang berkonfrontasi dengan presiden memainkan konflik ini untuk tujuan politis. Beberapa jenderal aktif dan purnawirawan kabarnya bermain penuh.

Diam-diam dia mengutus menteri agama dan ketua umum PBNU menjalin kontak dengan pemimpin lokal kedua kubu, muslim dan kristen, untuk merajut kembali perdamaian. Ukhuwah Wathaniah, persaudaraan sebangsa setanah air, dia gunakan di atas ukhuwah islamiah untuk mendamaikan kedua anak bangsa ini.

Dalam konflik Ambon pula, ketika presiden kita tahu sumber pendanaan Laskar Jihad berada di negara kaya Timur Tengah, dia pun mengutus anak buahnya ke sana dan melobi donatur tajir agar menghentikan gelontoran dananya. Urat nadi pendanaan berhenti. Lalu laskar ini bubar beberapa bulan kemudian.

Jika Laskar Jihad yang ngotot berperang saja dia temui, apatah pagi sekelompok pemuda demonstran yang menggunakan toa menuntut pembagian konsesi gas yang adil antara pemerintah pusat dan daerah. Mereka juga mengancam memisahkan diri dari NKRI.
"Siapa para demonstran itu? Apa yang mereka tuntut?"

"Mahasiswa asal salah satu provinsi di Sumatera, pak presiden. Mereka menuntut beberapa hal."

"Ya sudah. Persilahkan mereka masuk." Dengan penampilan kumal, delegasi demonstran ini ditemui presiden di istana. Presiden mendengarkan tuntutan mereka. Lalu...brakkkk!

Presiden menggebrak meja. Paspampres kaget. Mahasiswa mulai mengkeret. Diam. Suasana tegang.

Lalu, giliran presiden menyampaikan pendapatnya apabila referendum dan ancaman memisahka diri dari NKRI bisa berbahaya untuk keutuhan bangsa. Presiden menghormati tuntutan mahasiswa tapi tidak bisa mengabulkan-nya.

Presiden yang dilengserkan akibat GOSIP POLITIK itu memimpin tak sampai tiga tahun. Dia melakukan perlawanan politik sendirian melawan parlemen yang mengepungnya, termasuk anak buah yang berbalik menjadi Brutus. Ada banyak jejak perubahan yang dia tinggalkan.

Di banding presiden lainnya, bersama Bung Karno, keduanya adalah presiden ksatria dengan penampilan paria, yang turun tahta menghindari perang saudara. Keduanya adalah pemikir negarawan yang hingga kini pemikirannya banyak dirujuk, pribadinya banyak dikisahkan secara tutur, dan kalimat-kalimat mutiaranya menjadi pegangan dalam kondisi genting.

Cara presiden santri ini beberapa kali menemui delegasi demonstran adalah langkah kebapakan yang elegan. Berbanding terbalik dengan presiden berikutnya, apalagi presiden saat ini.

Tapi....tunggu dulu, mereka yang dalam demonstrasi kemarin menyisipkan tuntutan agar Jokowi mundur, dulu juga berada di garda terdepan menyebarkan gosip politik dan seperangkat fitnah yang mengakibatkan presiden santri terpaksa mundur. Aktor-aktornya ya orang-orang itu. Tetap, kok.

Nilai nilai agama yang dibawa ke ranah politik akan membawa kemaslahatan sedangkan aspek politik yang diseret ke wilayah agama akan membawa kemaslahatan.

Penulis: Sayyid Rijal Mumazziq Z



0 komentar

Post a Comment