Saturday, January 14

Orang Tionghoa Juga Manusia Nusantara



Oleh: Gus Doni Febriando, (Mahasiswa disalahsatu perguruan tinggi dan penulis buku Kembali menjadi Manusia)

Ungkapan Bahwa Gus Dur itu seperti Lokomotif kereta Shinkansen itu memang benar adanya. Pemikiran dan tindakan almarhum seperti melampaui zamanya sendiri; baru terlihat kebenarannya saat zaman telah berganti, dimana masyarakat generasi selanjutnya lebih cerdas dan lebih "steril".

Saat bangsa Indonesia masih makai kereta api batu bara, Gus Dur sudah melaju dengan kecepatan sekitar 270 km/jam dan memakai sistem rel elektromagnetik. Itulah kenapa Gus Dur tidak bisa marah ketika dihujat. Biasanya yang menghina-menghina itu hanya karena tidak mengerti saja. Gus Dur lebih memilih sabar, karena kebenaran akan selalu dibuka oleh waktu.



Tindakan almarhum Gus Dur "membebaskan" etnis Tionghoa bisa jadi justru merupakan suatu tindakan penyegelan. Bisa jadi Gus Dur sudah tahu bahwa umurnya sebagai presiden RI itu tidak lama, bahkan sejak dilantik. Maka dari itu, Gus Dur saat menjadi Presiden Indonesia, beliau lebih cenderung berkarakter mendobrak.

Kalau kita belajar ilmu politik, seorang presiden haruslah sering-sering wait and see, karena stabilitas politik itu penting. Minimal demi citra dan elektabilitasnya sendiri. Beliau malah tidak, beliau seperti dewa mabik. Harusnya jangan pukul A dulu tapi Gus Dur langsung menggebuk A, B, dan C di hari itu juga. Tak cuma lawan-lawan politik beliau para pendukungnya yang mengerti ilmu politik pun sangat kaget.

Misalnya, Gus Dur suka membuka ruang diskusi dirapat dewan, padahal beliau itu presiden dan para anggota dewan tidak semuanya praksi PKB. Gus Dur selintas sedang "bunuh diri". Misalnya lagi, Gus Dur yang belum lama menjabat jadi presiden, langsung memerintahkan tentara kembali ke barak, lalu memisahkan polisi dari tentara.

Gus Dur selintas sedang "meminta di tembak". Baru ketika satu dekade lewat, baru orang-orang sadar maksud langkah-langkah politik "bunuh diri" beliau. Bangsa Indonesia terlalu lama diajari rezim orde Baru untuk tidak suka berdialog, berbeda pendapat adalah memusuhi, dan presiden adalah orang sakral yang tidak boleh dikritik. Baru selepas Gus Dur meninggal, orang-orang baru sadar, bahw tentara tidak boleh masuk politik dan mustahil ada presiden pengganti yang berani mengatur-atur tentara.

***

Tindakan Gus Dur "membebaskan" etnis Tionghoa bisa jadi justru merupakan penyegelan. Salah satu bom waktu warisan Orde Baru adalah konflik horizontal dengan isu pribumi-non pribumi. Kalau Gus Dur yang melakukan ritual pembatasan, penutupan, dan penguncian "monster" tersebut, mau presiden siapa lagi?

Untuk lebih memahaminya, kita bisa memakai ilustrasi sederhana. Seorang anak kecil mendapati dapur rumah penuh tumpukan piring kotor, tapi, anak kecil itu bisa "tidak tahu" kalau dapurnya kotor, karena ada yang memecahkan satu-dua piring. Tidak tahu, karena tidak sadar. Kalau pakai bahasa gaul masa kini, trik itu dinamakan "pengalihan isu". Kesadarannya dialihkan.

Pemerintah yang korup sangat menyukai adanya konflik-konflik sosial. Karena dengan begitu, perhatian sekaligus kemarahan rakyat teralihkan. Koran-koran jadi sibuk memberitakan kerusuhan. Setiap negara yang tingkat korupsinya tinggi, sebagus apapun metode perdagangannya, pasti ambruk. Itu seperti mengisi bak mandi yang bagian bawahnya retak-retak. Koran-koran jadi lupa meliput aneka kegagalan pemerintah mensejahterakan rakyat.

Mumpung masih presiden, almarhun sebisa-bisanya menyelamatkan etnis Tionghoa, dengan cara mengakui mereka sebagai orang pribumi lagi, seperti sikap Bung Karno dahulu. Dengan begitu, potensi konflik horizontal pribumi-non ptibumi dengan tumbal masyarakat minoritas Tionghoa pun terkunci, karena semuany adalah manusia Nusantara.

Gus Dur rela dicaci maki saat melindungi etnis Tionghoa. Zaman Orde Baru yang pak Harto-nya cuma satu saja, sudah ada kerusuhan rasialis yang dahsyat, alalagi di masa depan dimana pak Harto-nya ada banyak. Sebenarnya Gus Dur kurang tepat digelari bapak Tionghoa Indonesia, karena waktu itu misi almarhum adalah menyelamatkan martabat, harta, dan jiwa orang lain. Jika tidak disegel oleh alamarhum, kemungkinan etnis Tionghoa benar-benar mengalami genosida di masa depan.

Ketika negara benar-benar ambruk, orang-orang "pribumi" yang polos bisa disetir untuk menyakurkan kemarahan pada kambing hitam yang tidak berdosa. Etnis Tionghoa sepwrti suku jawa. Ada yang pengusaha, ada yang penjual nasi goreng, ada juga yang pengangguran. Benar-benar kasihan yang tidak bisa lari ke luar negeri.

Kemungkinan buruk itulah yang ditangisi Gus Dur dan membuatnya terpaksa sangat pemberani. Segala resiko diterjang demi Indonesia. Gus Durmemilih hancur di masa sekarang daripada menyaksikan Indonesia hancur di masa depan. Waktu akan membuka jalan kebenaran, itu yang dipegangi almarhum. Gus Dur lebih pantas digelari Bapak Bangsa Indonesia, karena etnis Tionghoa juga manusia nusantara. Sialhkan baca buku-buku Bung Karno.

Mungkin waktu juga akan yang membuktikan beberapa prediksi: Indonesia akan dipimpin oleh orang Islam. Mungkin maksudnya adalah dipimpin oleh barisan pemimpin yang islami, berbudya nusantara, dan menjiwai Pancasila. Pihak Barat dan Timur Tengah akan berguru pada Indonesia. Mungkin maksudnya adalah kedua pihak tersebut mulai menyadari tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri dan terkagum-kagum kepada kearifan nusantara. Terakhir, mungkin yang tidak masuk akal, akan berdiri kantor NU cabang Israel dan berperan menjaga perdamaian.

***

Seperti halanya fitnah Gus Dur adalah koruptor, hingga dodongkel-dongkel, kini kebenaranya terbuka jelas. Aneka kasus korupsi yang jumlahnya sangat jauh lebih besar dari kasus Brunneigate sama sekali tidak tersentuh hukum. Sementara Gus Dur setelah lengser, hingga akhir hayatnya tetap tidak punya dompet, dan tidak ada satupun anaknya yang punya saham 150 perusahaan-yayasan.

Waktu telah membuktikan bahwa Gus Dur bukan orang munafik. Dulu sempat ada istilah "kafir Orde Baru" dan "munafik era reformasi". Kalau istilah pertama relatif sudah jelas, tapi istilah kedua memang mengelitik. Orang-orang yang disebut "munafik era Reformasi" adalah orang yang membenci pak Harto hanya karena dengki.

Benci koruptor, karena tidak diajak. Benci korupsi karena tidak bisa melakukannya. Begitu jadi pejabat, diam-diam korupsi. Le, piye enak zamanku, tho? Betul, lebih enak zaman Orde Bari dulu, karena Pak Harto-nya cuma ada satu. Zaman era Reformasi sekarang, pak Harto-nya ada banyak.

Dengan aneka jabatan macam ketua PBNU, ketua Fordem, presiden WCRP, dan presiden RI tentu sangat mudah bagi Gus Dur untuk masuk majalah bisnis sebagai salah satu dari 100 orang terkaya di dunia. Tinggal jual jabatan ini-itu dan sedot dana APBN, kemudian masing-masing anaknya diberi saham puluhan perusahaan. Tapi, Gus Dur tidak mau, Gus Dur tetap Istiqomah hidup sangat sederhana hingga meninggal.

Bagi kalangan sufi, dunia ada di tangan, tidak bolwh ada di hati. Hati hanya boleh bersinggasana keimanan pada Allah Subhaanahu Wata'ala, dengan Nabi Muhammad shallallhu 'Alaihi Wa Salam sebagai penjaga pintunya. Bahkan saking zuhudnya, sekedar beli bakso, almarhun hutang dulu ke anaknya.

Waktu,pun membuka, siapa yang benci korupsi dan siapa yang hobi korupsi. Waktu pun membuka; Gus Dur yang benar atau mereka yang salah. Indonesia harus bersyukur pernah memiliki Mbah Yai Abdurahman Wahid. Wallahu A'lam.


0 komentar

Post a Comment