Friday, February 24

CERPEN: Perkampungan Kembali Menjadi Manusia



Oleh: Gus Doni Febriando

Indonesia itu seperti hutan rimba sekarang. Sopo siro, sopo ingaun. Yang kuat melindas, yang lemah tertindas. Kalabendhu. Tapi, hujan seperti apapun, sela-sela hujan lebih luas daripada titik-titik hujan itu sendiri.

Seperti hutan rimba karena banyaknya hewan ganasnya. Saking hutan rimbanya, kelinci pun harus ganas supaya bisa makan wortel, kuda pun harus ganas supaya bisa merumput, apalagi yang srigala. Tapi, yang namanya hutan, selalu ada area-area tak tersentuh. Biasanya dijadikan perkampungan umat manusia.

Saya punya sahabat karib. Dia berbeda dengan diri saya. Dia orangnya sangat peduli pada sesama. Menyenangkan. Dermawan. Tapi, bagi saya, jujur, dia itu seperti orang naif. Sebab, cuma orang naif yang suka berpetualang di hutan rimba, main petak umpet dengan para hewan buas, untuk menolong sesama yang tersesat di hutan, dan sementara dia punya rumah di perkampungan umat manusia.

Saya bersahabat dengan dia secara tidak sengaja. Beberapa tahun lalu, dia menemukan saya tersesat di hutan rimba, dan mengajak saya ke tempat yang aman. Kami berdua berjalan cukup jauh. Naik-turun lembah, terkadang menyusuri pinggiran sungai, pokoknya seru sekaligus melelahkan. "Pantas tempat tersebut aman ya, aksesnya cukup berat," kata saya sambil membuka botol air mineral.

"Ya. Untuk mencapai tempat itu, kita harus berjalan cukup jauh dulu, menjauhi pusat hutan rimba, lalu melewati padang pasir, dan ketika sudah sampai di area tebing-tebing, kita harus memanjatnya sedikit," katanya seolah tidak pesduli saya jadi bersemangat atau tidak melanjutkan perjalanan.

"Setelah itu?" Tanya saya iseng, "kita akan istirahat di atas tebing ituh. Sudah penuh rumput hijau segar. Ada beberapa pohon rindang yang lumayan buahnya. Bisa kita petik. Ada air terjun kecilnya juga. Seperti miniatur perkampungan kita nanti hebe..." sahabat saya senang.

"Hah? Itu belum sampai ya? Saya pikir perkampunga, itu di atas tebing-tebing. Huh!"

"Jangan buru-buru mengeluh dulu, sobat. Miniaturnya saha sudah menyenangkan, apalagi versi aslinya kan?"

Dulu, dia memang dengan mudahnya menganggap saya sobatnya. Dia memang hatinya terlalu baik. Dia adalah manusia yang manusia. "Seperti pintu gerbang saja," komentar saya spontan.

"Ya. Mungkin semacam itu. Nanti kita memang mulai masuk bibir gua yang gelap gulita di area tebing-tebing itu. Nanti tetaplah berjalan di belakang saya. Sobat. Tenang, ada obornya kok, sudah saya siapkan." Saya pun mulai takjub di perjumpaaan pertama.

"Di gua itu nanti berlorong-lorong, tepat di persimpangan lorong ketiga, pilihlah yang kiri ya, sebab yang kanan itu lorong biasa. Ujungnya hanya jalan buntu. Sisi luar tebing ini lagi. Sementara yang sebelah kiri adalah lorong menuju perkampungan umat manusia."

Singkat cerita, memang benar adanya, dalam gua ini gelap gulita, dan berlorong-lorong. Setiap persimpangan cabang lorong ada tiga pilihan lubang, dan sahabat saya selalu memilih yang di tengah. Tapi, ketika di persimpangan cabang lorong ketiga kalinya, dia mengamit tangan saya menuju lubang yang sebelah kiri. Tak lama kemudian, saya pun melihat sebuah... mimpi.

Dari seberkas cahaya itu sayup-sayup terdengar suara air terjun. Semakin didekati, semakin jelas terdengar, bahkan ada suara anak kecil tertawanya. Saya benar-benar antusias melangkah--nanun tetap berusaha di belakang sahabat saya. "Kita sudah sampai di... perkampungan kembali Menjadi Manusia!" Seru sahabat saya riang gembira.

Mata saya terbelalak.

Gemah ripah loh jinawi. Tata tentrem kertaraharja. Dari atas tebing tempat saya berpijak, saya melihat sebuah perkampungan sangat luas yang asri, bersawah-sawah, dan penuh manusia. Juga tidak ada hewan ganas di tempat seluas itu!

Sebab saya melihat kambing dan kerbau asyik merumput di dalam pagar kayu yang tegak. Tidak ada hutannya, yang ada hanya perkebunan, tomat-tomat, jagung-jagung, dan sebagainya. Tapi lebih dominan sawah padi memang.

Meski seolah tradisional, tapi jalannya sudah rapi, lapang dan mulus, seperti di perkotaan yang maju. Rumah-rumah berbaris rapi, meski tidak seragam seperti ala perumahan. Di ujung jauh terlihat ada lima air terjun yang mengumpul mengisi danau di pojokan dan mengaliri sungai-sungai buatan di sekujur wilayah perkampungan kembali Menjadi Manusia.

Saya pun semakin takjub dengan sahabat saya. Selalu waspada tapi artistik. Tebing ini sudah di rekayasa sehingga memiliki anak tangga dari batu-batu tebing yang digempur, tapi di ujung bawah sana ada empat pos penjaggaan yang terpisah oleh sebagian jembatan.

"Di garis pertahanan pertama, ada dua pos kan-kiri jalan masuk, mereka ada pasukan pembasmi hewan ganas. Total ada 24 pasukan, pergantian jaga 8-8-8 setiap 8 jam sekali. Hihihi... Sebab kami semua manusia... punya batas stamina..." ujar sahabat baru saya bersemangat dan tetap riang gembira.

"Waow..." Saya tanpa sadar terkesima. "Lalu di garis pertahanan kedua, ada dua pos kanan-kiri jalan masuk juga, tapi mereka lebih ke pasukan keamanan desa. Total ada 24 pasukan juga. Bedanya mereka yang mngurusi semua pendatang baru, seperti memberikan surat rekomendasi izin tinggal, memberikan baju ganti yang bersih, dan lain sebagainya."

"Lalu gunanya kapak itu?" Tanya saya sambil menujuk kapak yang bergelantungan di pinggir jembatan.

"Sebenarnya area ini tidak seperti ini. Tapi, sebagai benyuk mempwrkuat garis pertahanan, penduduk perkampungan kembali Menjadi Manusia generasi awal gotong royong menggali parit selebar tiga meter dan sedalam tiga meter, lalu dialiri air mengelilingi seluruh perkampungan. Sebab hewan ganas umumnya tidak bisa melompat jauh lebih dari tiga meter. Jadi, ketika perkampungan Kembali Menjadi Manusia terbongkar lokasinya sekalipun, para hewan ganas itupun tetap tidak bisa masuk."

"Tali jembatan langsung diputus?" "Ya. Itu protokol keamanan darurat pertama. Ketika rahasia terbongkar, selama para pasukan pembasmi hewan buas masih sibuk bertarung, tali jembatan harus segera diputus."

"Mereka dibiarkan terjebak melawan hewan ganas sendirian?" "Mereka adalah patriot. Sudah siap segala resiko." Wajah sahabat saya mendadak serius.

"Mohon maaf, jika boleh bertanya lagi, lalu apa protokol keamanan darurat kedua?" "Cerdas. Hmm... setelah tali jembatannya diputus, penduduk Kampung siaga satu, tapi tetap beraktivitas biasa. Yang bersekolah, tetap bersekolah. Yang bekerja, tetap bekerja. Nanti pasukan dari garis pertahanan kedua harus sudah memegang senjata dan pasukan cadangan dikeluarkan."

"Ya. Meski pasukan cadangan, mereka semua pasukan elit sebenarnya. Mereka akan keluar dari pintu darurat Bedhol Desa. Memutari area sangat luas ini dengan kuda, lalu menyerang hewan-hewan ganas itu dari arah pintu masuk bibir gua tadi. Jadi serangan gerilya dari arah belakang musuh. Tidak di sangka-sangka kan?"

"Wah, maaf, ternyata saya salah, pasukan garis pertahanan pertama tidak ditinggal sendirian ya."

"Tentu tidak. Ketika serangan itu terjadi sekalipun, pastinya yang melawan ya tetep cuma 8 petugas pos saja. Jika yang berhasil masuk 100 macam kumbang sekalipun, yang melawan tetep 8 petugas saja. Makanya akan segera di kirim pasukan cadangan."

"Hebat!" seru saya ketika itu. Tapi, alhamdulillah, skenario terburuk itu tidak pernah terjadi, dan saya telah tinggal di perkampungan Kembali Menjadi Manusia puluhan tahun dengan damai sentosa, sementara sahbat saya terus-menerus berkelana menolong manusia-manusia yang terlantar di hutan rimba.

Pulang, pergi, pulang, pergi, terus-menerus.

Sahabat saya tersebut memang welas asih dan merupakan lelaki yang diberkati...

0 komentar

Post a Comment