Oleh: Doni Febriando
Seringkali isu poligami dijadikan alat untuk menyerang ajaran agama Islam oleh “orang luar”, dan dijadikan legitimasi “orang dalam” untuk menyakiti hati para muslimah.
Saya sungguh berharap para pembaca sekalian, terutama yang muslimah, untuk tetap mantap beragama Islam. Masalah poligami akan coba saya bahas dengan perspektif yang mungkin belum pernah Anda sekalian tahu.
Untuk mengawalinya, saya sengaja pakai metode bercerita, agar Anda lebih mudah mengenal inti agama Islam. Syukur-syukur Anda bisa jadi tangguh membela kanjeng nabi dari aneka fitnahan.
Maka dari itu, agar kita makin cinta pada beliau dan tidak berprasangka negatif lagi tentang poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, kita lakukan bedah potongan "ayat poligami" dulu.
Fankihuu maa thaaba lakum minannisa-i matsnaa wa tsulaatsaa wa rubaa’a fa in khiftum al laa ta’diluu fa wâhidah. Kira-kira terjemahannya seperti ini; Maka nikahilah apa yang baik menurut kalian, daripada wanita-wanita; dua-dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat, (tetapi) jika kalian takut tidak dapat bersikap adil, maka (sebaiknya) hanya seorang (istri) saja.
Inilah bunyi dan terjemahan potongan Surat An-Nisaa ayat ke-3 yang bisa kita jadikan kunci memahami poligami dalam Islam. Sebenarnya ayat tersebut agak panjang, tapi kita ambil inti ayatnya saja, karena kita hanya akan fokus membahas syarat poligami.
Memang menimbulkan kontroversi hati, kalau kita hanya berhenti di terjemahan bahasa Indonesianya saja. Kalau kita menafsirkan potongan ayat tersebut hanya mengandalkan terjemahan bahasa Indonesia saja, maka wajah agama Islam jadi seolah kejam dan tidak “perempuaniawi”.
***
Kalau menurut ulama Ahlussunah wal Jama'ah, potongan ayat tersebut justru adalah anjuran untuk monogami. Hal ini didasari oleh sifat dari struktur kalimat potongan ayat tersebut yang cenderung bukan bunyi kalimat perintah.
Potongan Surat An-Nisaa ayat 3 tersebut lebih ditafsiri sebagai kalimat "perkenan". Sama sekali bukan kalimat bernada anjuran untuk poligami. Bingung bedanya antara istilah perkenan dengan istilah anjuran?
Agar lebih paham bedanya, saya kutipkan lagi pendapat alim ulama dari kalangan sufi saja, karena cara membedakan kedua nada potongan firman Allah tersebut lebih jelas bila melalui metode olah batin. Maksudnya, meresapi bunyi ayat tersebut memakai sistem perasaan yang paling halus.
Potongan Surat An-Nisaa ayat 3 tersebut pada dasarnya adalah cara Allah SWT untuk mengajak umat Islam berdiskusi dari hati ke hati.
Bisa kita mulai dengan melihat sejarah dan konteks turunnya ayat tersebut, yang tentu adalah zaman kanjeng nabi. Dahulu, saat ayat ini hendak diturunkan, banyak orang Arab melecehkan kaum perempuan yang miskin dengan cara menikahinya.
Seorang bangsawan yang kaya raya waktu itu biasa menikah sampai puluhan kali. Malah ada orang Arab di zaman dahulu itu punya istri hingga 300 orang. Sedangkan salah satu misi besar kanjeng nabi adalah mengubah kultur masyarakat Jazirah Arab yang kurang memanusiakan kaum hawa.
Allah SWT pun membekali baginda rasul dengan sebuah ayat yang sangat revolusioner; umat Islam hanya boleh punya istri maksimal sampai 4 saja.
Kalangan sufi menilai bahwa redaksi asli ayat tersebut, bila dicecapi memakai olah batin, akan jadi berubah "bunyinya". Ayat poligami tersebut justru adalah anjuran kepada umat Islam untuk senantiasa tidak melampaui batas.
Poligami itu boleh, tapi harus dibatasi, dan justru sebaiknya malah meninggalkan praktik poligami sama sekali. Bukankah jelas terlihat Gusti Allah memberikan anak kalimat, bahwa kalau takut tidak bisa berbuat adil, maka cukup satu istri saja?
Ini titik kecil tapi sangat rawan.
Istilah "adil" bagi tiap orang berbeda-beda, maka juga akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Sebagian orang tetap poligami, karena sangat percaya diri bisa berbuat adil. Sebagian orang memilih monogami, karena memiliki kesadaran pribadi bahwa Gusti Allah sedang "menyindir".
Tidak ada manusia yang bisa berbuat adil kepada semua istri. Istilah "adil" di sini, menurut tafsir para ulama Ahlussunah wal Jama'ah, adalah tentang keadilan pembagian kasih sayang. Bukan masalah keadilan aspek duniawi, cuma masalah pembagian jadwal menginap, dan masalah nafkah lahiriah.
Hal inilah yang membuat para ulama ahli fikih cenderung lebih memilih monogami saja. Para ahli fikih sudah dapat membaca jelas adanya sentilan dari Gusti Allah di ayat tersebut.
Diksi in (jika) dalam ayat ketiga Surat An-Nisaa, berbeda dengan diksi idza, yang secara sastrawi memberikan kesan sesuatu yang sulit, bahkan cenderung mustahil terjadi.
Adil membagi cinta itu luar biasa sulit. Para alim ulama hanya mau berpoligami kalau ada alasan darurat, itupun masih memakai metodenya kanjeng nabi. Keliling ditawarkan ke banyak orang lain dulu, dan baru dinikahi kalau memang tidak ada yang mau.
***
Poligami ala Rasulullah SAW bukanlah poligami yang asal-asalan. Ada ilmu dan metodenya, juga disertai syarat yang sangat berat. Misalnya, sedang terjadi peperangan yang membuat jumlah janda meningkat drastis, seperti zaman Rasulullah SAW dahulu.
Struktur sejarah hidup kanjeng nabi sendiri sebenarnya bisa dijadikan dalil agama. Kalau mau menang-menangan durasi, Nabi Muhammad SAW (hanya) beristri Bunda Khaddijah r.a. bisa selama 25 tahun, sementara masa poligami beliau kurang dari 10 tahun saja.
Mohon Anda sekalian jangan lantas memfitnah saya anti-poligami, karena saya sebenarnya sudah berdiri di luar isu poligami-monogami.
Mohon kita jangan terpaku pada “bungkus”. Mohon kita beragama secara cerdas dan arif. Agama Islam disebut agama anugerah, karena tujuannya adalah memberikan kemashlahatan umum.
Kalau memang sudah bahagia dengan satu istri, tidak mampu berbuat adil, dan tidak ada alasan darurat, lantas kenapa cari-cari lagi? Bukankah lebih baik memberdayakan energi yang tersisa untuk melakukan sunnah-sunnah nabi lainnya?
Diperbaiki puasa sunnah Senin-Kamisnya dulu, dirutinkan shalat malamnya dulu, atau coba dimulai kebiasaan membaca Al-Qur’an satu hari minimal satu juz dulu.
Sebagai penutup, saya menyatakan mendukung praktik-praktik poligami yang sesuai sunnah nabi, yaitu menikahi para janda yang sudah tua dan punya tanggungan anak banyak. Atau menikahi perempuan-perempuan cacat fisik yang sudah yatim-piatu.
Kalau tidak mau dan tidak mampu, alangkah baiknya bila berbahagia dengan satu istri saja.
Seringkali isu poligami dijadikan alat untuk menyerang ajaran agama Islam oleh “orang luar”, dan dijadikan legitimasi “orang dalam” untuk menyakiti hati para muslimah.
Saya sungguh berharap para pembaca sekalian, terutama yang muslimah, untuk tetap mantap beragama Islam. Masalah poligami akan coba saya bahas dengan perspektif yang mungkin belum pernah Anda sekalian tahu.
Untuk mengawalinya, saya sengaja pakai metode bercerita, agar Anda lebih mudah mengenal inti agama Islam. Syukur-syukur Anda bisa jadi tangguh membela kanjeng nabi dari aneka fitnahan.
Maka dari itu, agar kita makin cinta pada beliau dan tidak berprasangka negatif lagi tentang poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, kita lakukan bedah potongan "ayat poligami" dulu.
Fankihuu maa thaaba lakum minannisa-i matsnaa wa tsulaatsaa wa rubaa’a fa in khiftum al laa ta’diluu fa wâhidah. Kira-kira terjemahannya seperti ini; Maka nikahilah apa yang baik menurut kalian, daripada wanita-wanita; dua-dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat, (tetapi) jika kalian takut tidak dapat bersikap adil, maka (sebaiknya) hanya seorang (istri) saja.
Inilah bunyi dan terjemahan potongan Surat An-Nisaa ayat ke-3 yang bisa kita jadikan kunci memahami poligami dalam Islam. Sebenarnya ayat tersebut agak panjang, tapi kita ambil inti ayatnya saja, karena kita hanya akan fokus membahas syarat poligami.
Memang menimbulkan kontroversi hati, kalau kita hanya berhenti di terjemahan bahasa Indonesianya saja. Kalau kita menafsirkan potongan ayat tersebut hanya mengandalkan terjemahan bahasa Indonesia saja, maka wajah agama Islam jadi seolah kejam dan tidak “perempuaniawi”.
***
Kalau menurut ulama Ahlussunah wal Jama'ah, potongan ayat tersebut justru adalah anjuran untuk monogami. Hal ini didasari oleh sifat dari struktur kalimat potongan ayat tersebut yang cenderung bukan bunyi kalimat perintah.
Potongan Surat An-Nisaa ayat 3 tersebut lebih ditafsiri sebagai kalimat "perkenan". Sama sekali bukan kalimat bernada anjuran untuk poligami. Bingung bedanya antara istilah perkenan dengan istilah anjuran?
Agar lebih paham bedanya, saya kutipkan lagi pendapat alim ulama dari kalangan sufi saja, karena cara membedakan kedua nada potongan firman Allah tersebut lebih jelas bila melalui metode olah batin. Maksudnya, meresapi bunyi ayat tersebut memakai sistem perasaan yang paling halus.
Potongan Surat An-Nisaa ayat 3 tersebut pada dasarnya adalah cara Allah SWT untuk mengajak umat Islam berdiskusi dari hati ke hati.
Bisa kita mulai dengan melihat sejarah dan konteks turunnya ayat tersebut, yang tentu adalah zaman kanjeng nabi. Dahulu, saat ayat ini hendak diturunkan, banyak orang Arab melecehkan kaum perempuan yang miskin dengan cara menikahinya.
Seorang bangsawan yang kaya raya waktu itu biasa menikah sampai puluhan kali. Malah ada orang Arab di zaman dahulu itu punya istri hingga 300 orang. Sedangkan salah satu misi besar kanjeng nabi adalah mengubah kultur masyarakat Jazirah Arab yang kurang memanusiakan kaum hawa.
Allah SWT pun membekali baginda rasul dengan sebuah ayat yang sangat revolusioner; umat Islam hanya boleh punya istri maksimal sampai 4 saja.
Kalangan sufi menilai bahwa redaksi asli ayat tersebut, bila dicecapi memakai olah batin, akan jadi berubah "bunyinya". Ayat poligami tersebut justru adalah anjuran kepada umat Islam untuk senantiasa tidak melampaui batas.
Poligami itu boleh, tapi harus dibatasi, dan justru sebaiknya malah meninggalkan praktik poligami sama sekali. Bukankah jelas terlihat Gusti Allah memberikan anak kalimat, bahwa kalau takut tidak bisa berbuat adil, maka cukup satu istri saja?
Ini titik kecil tapi sangat rawan.
Istilah "adil" bagi tiap orang berbeda-beda, maka juga akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Sebagian orang tetap poligami, karena sangat percaya diri bisa berbuat adil. Sebagian orang memilih monogami, karena memiliki kesadaran pribadi bahwa Gusti Allah sedang "menyindir".
Tidak ada manusia yang bisa berbuat adil kepada semua istri. Istilah "adil" di sini, menurut tafsir para ulama Ahlussunah wal Jama'ah, adalah tentang keadilan pembagian kasih sayang. Bukan masalah keadilan aspek duniawi, cuma masalah pembagian jadwal menginap, dan masalah nafkah lahiriah.
Hal inilah yang membuat para ulama ahli fikih cenderung lebih memilih monogami saja. Para ahli fikih sudah dapat membaca jelas adanya sentilan dari Gusti Allah di ayat tersebut.
Diksi in (jika) dalam ayat ketiga Surat An-Nisaa, berbeda dengan diksi idza, yang secara sastrawi memberikan kesan sesuatu yang sulit, bahkan cenderung mustahil terjadi.
Adil membagi cinta itu luar biasa sulit. Para alim ulama hanya mau berpoligami kalau ada alasan darurat, itupun masih memakai metodenya kanjeng nabi. Keliling ditawarkan ke banyak orang lain dulu, dan baru dinikahi kalau memang tidak ada yang mau.
***
Poligami ala Rasulullah SAW bukanlah poligami yang asal-asalan. Ada ilmu dan metodenya, juga disertai syarat yang sangat berat. Misalnya, sedang terjadi peperangan yang membuat jumlah janda meningkat drastis, seperti zaman Rasulullah SAW dahulu.
Struktur sejarah hidup kanjeng nabi sendiri sebenarnya bisa dijadikan dalil agama. Kalau mau menang-menangan durasi, Nabi Muhammad SAW (hanya) beristri Bunda Khaddijah r.a. bisa selama 25 tahun, sementara masa poligami beliau kurang dari 10 tahun saja.
Mohon Anda sekalian jangan lantas memfitnah saya anti-poligami, karena saya sebenarnya sudah berdiri di luar isu poligami-monogami.
Mohon kita jangan terpaku pada “bungkus”. Mohon kita beragama secara cerdas dan arif. Agama Islam disebut agama anugerah, karena tujuannya adalah memberikan kemashlahatan umum.
Kalau memang sudah bahagia dengan satu istri, tidak mampu berbuat adil, dan tidak ada alasan darurat, lantas kenapa cari-cari lagi? Bukankah lebih baik memberdayakan energi yang tersisa untuk melakukan sunnah-sunnah nabi lainnya?
Diperbaiki puasa sunnah Senin-Kamisnya dulu, dirutinkan shalat malamnya dulu, atau coba dimulai kebiasaan membaca Al-Qur’an satu hari minimal satu juz dulu.
Sebagai penutup, saya menyatakan mendukung praktik-praktik poligami yang sesuai sunnah nabi, yaitu menikahi para janda yang sudah tua dan punya tanggungan anak banyak. Atau menikahi perempuan-perempuan cacat fisik yang sudah yatim-piatu.
Kalau tidak mau dan tidak mampu, alangkah baiknya bila berbahagia dengan satu istri saja.
0 komentar
Post a Comment