Monday, May 30

Almaghfurlah Prof Haji Aboe Bakar Aceh (1909-1979)

ALMAGHFURLAH PROF HAJI ABOE BAKAR ACEH (1909-1979), KADER KIRI-PROGRESIF KIYAI WACHID HASYIM DARI MUHAMMADIYAH-MASYUMI



Haji Aboe Bakar Aceh adalah cendekiawan terkenal dari Aceh,dan juga penulis buku-buku keagamaan, filsafat dan kebudayaan. Di antaranya telah menghasilkan karya magnum opus berjudul Sedjarah K.H.A.Wachid Hasjim dan Karangan Tersiar terdiri dari 975 halaman, terbit pada tahun 1957 khusus untuk memperingati empat tahun wafat-nya Kiai Wahid Hasyim.

Isinya mengupas asal-usul pesantren cerita Wali Songo sampai kiprah dan karya-karya dan karangan putra Hadlartussyekh ini yang tersebar di beberapa tempat.

Lahir pada 18 April 1909 di Peureumeu, kabupaten Aceh Barat, dari pasangan ulama. Ayahnya adalah Teungku Haji Syekh Abdurahman. Ibunya bernama Teungku Hajjah Naim.

Sejak kecil belajar di beberapa dayah terkenal di Aceh.Di antaranya di dayah Teungku Haji Abdussalam Meuraxa,dan pada dayah Manyang Tuanku Raja Keumala di peulanggahan di Kutaraja (Banda Aceh). Juga belajar di Volkschool di Meulaboh dan di Kweekschool Islamiyah di Sumatera Barat.

Kemudian pindah ke Yogyakarta,dan Jakarta.Menguasai sejumlah bahasa asing, seperti Jepang, Belanda, Inggris, Arab, dan sebagian Perancis dan Jerman. Di masa-masa mudanya aktif di sejumlah ormas dan partai.Pada 1923 aktif di Sarekat Islam di Aceh Barat,pada 1924 di Muhammadiyah,dan di Partai Masyumi sejak 1946.,di masa pendudukan Jepang Abu Bakar bergabung dengan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) yg dibentuk oleh KH Wachid Hasyim.

Organisasi ini dibentuk di tahun 1944 untuk mewadahi anak-anak muda NU maupun Muhammadiyah yang punya pikiran kiri-progresif nasionalis. Dari NU yang menonjol adalah KH Saifuddin Zuhri dan KH Fattah Jasin.

Sementara dari Muhammadiyah adalah Abu Bakar Aceh dan Anwar harjono (sebelum gabung dengan M.Natsir di Masyumi pusat). Para kadernya aktif membangun jaringan dengan tokoh-tokoh komunis Nusantara seperti Tan Malaka,Chairul Saleh dan Sukarni. Juga menjalin kontak dengan tokoh-tokoh laskar rakyat seperti dokter Muwardi dan Bung Tomo.

Setelah Indonesia merdeka, GPII ikut membantu perjuangan Jenderal Sudirman sejak akhir 1945. Bos GPII sendiri Kiai Wachid jadi penasehat panglima besar TNI itu. GPII juga ikut membidani lahirnya Persatuan Perjuangan (PP) yg dimotori Tan Malaka di tahun 1946.

Ketika ibukota pindah ke Yogyakarta, Abu Bakar Aceh bersama aktifis GPII lainnya menerbitkan media kiri bernama Guntur yang menjadi corong aspirasi anak-anak muda NU kiri maupun Muhammadiyah kiri yang waktu itu kadang menyimpang dari suara Masyumi pusat.

Ketika pemberontakan FDR PKI meletus dengan aktornya Musso dan Amir Sjarifuddin pada September 1948, GPII menuntut pembebasan Tan Malaka dari penjara,serta mengundang tokoh komunis nasionalis ini untuk keliling ceramah di Yogyakarta ke ormas-ormas Islam mengutuk komunis antek imperialis di Madiun itu.

Tan Malaka juga diundang ceramah di kalangan anak anak muda NU dan Muhammadiyah di Yogya.Abu bakar dan Anwar harjono tampil sebagai inisiator roadshow Tan Malaka itu.

Di masa kepemimpinan Menteri Agama KH. Wachid Hasyim, Abu Bakar Aceh bekerja di Departemen Agama membantu suhunya itu dalam urusan penataan pelayanan haji. Selanjutnya dipercaya oleh Kiai Wachid memimpin jamaah haji ke Mekah pada 1953. Karena keluasan ilmu dan kacakapannya dalam tulis-menulis, ia dipercaya mengomandani bidang publikasi Departemen Agama sebelum kemudian menjadi staf ahli Menteri Agama. Setelah Pemilu 1955, beliau yang dikenal tawadhu dan tidak suka menonjolkan diri itu masuk menjadi anggota Konstituante mewakili Partai Masyumi.

Dan setelah Kiai Wahid wafat pada 18 April 1953, Abu Bakar Aceh langsung mengambil inisiatif untuk menulis biografi dan pemikiran mantan bosnya itu, sebagai penghormatan kepada tokoh NU itu. Empat tahun kemudian buku itu terbit di Jakarta (kini sudah dicetak ulang pada 2011 oleh Panitia 1 Abad KH Wachid Hasyim).

Dalam sejumlah tulisannya,Abu Bakar menunjukkan kekagumannya dan bahkan menimba banyak dari tradisi keilmuan pesantren.

Dalam satu tulisannya, “Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia”, untuk satu bab buku terjemahan Stoddard, Dunia Baru Islam (1966), ia menunjukkan kontribusi masing-masing yang reformis-modernis-tradisi maupun Kaum Tua-Kaum Muda bagi kemerdekaan Indonesia dan semuanya diarahkan pada pendekatan rekonsiliasi titik temu dan pencarian sintesa-sintesa baru bagi kemajuan dan pengumpulan kekuatan bangsa ini – sesuatu yang tidak kita temukan pada sejumalah sarjana Indonesia didikan Amerika, Eropa maupun Australia, yang selalu mencari titik lemah pada komunitas pesantren, pengumpulan titik kelemahan bangsa ini serta penonjolan titik-titik tengkar di antara berbagai komponen bangsa ini.

Haji Aboe Bakar Aceh wafat pada 18 Desember 1979 di Jakarta, dan dimakamkan di Pemakaman Karet Jakarta. Tambahan “Aceh” di belakang namanya merupakan pemberian Presiden Sukarno yang kagum akan keluasan ilmu putra Aceh ini. “Ensiklopedia Berjalan” adalah sebutan teman-temannya tentang hakikat ilmu pengetahuannya.

Allah yarhamhum jami'an...wanafa'a na bi'ulumihim fiddarain.. amiin.

SUMBER: Yai Ahmad Baso


1 komentar:

  1. asslamulaikum, mohon infoirmasi tentang abu abubakar aceh
    saya adalah mahasiswa pasca sarjana UIN Ar-RAniry yang berencana meneliti tentang pemikiran beliau

    ReplyDelete