Thursday, October 20

Faham Islam Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan Haluan Bermadzhab

Oleh: Zawawi Arrozi

Islam adalah agama Allah Subhaanahu Wata'ala, yang diwahyukan (disampaikan sebagai wahyu) kepada Nabi Muhammad Rasulallah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam kemudian diteruskan kepada para sahabat, dengan dua perwujudan:
Al-Qur'an dan Al-Hadits
Sahabat adalah generasi pertama penganut Islam yang menerima ajaran, bimbingan, dan pengawasan melaksanakan ajaran-ajaran tersebut langsung dari Rasulallah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam bersama para sahabat, sebagaimana disebut dalam sebuah hadits:
مَا اَنَا عَلَيْهِ وَ اَصْحَابِ
"Apa yang aku bersama para sahabatku berada diatasnya"
(Atau dengan kata lain: ajaran dan pengamalan Sahabatnya) adalah yang paling sempurna. Maa Ana 'Alaihi Wa Ash-habi itulah ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang para penganutnya disebut Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Jelas, bahwa para sahabat adalah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Kemudian bagaimana kaum muslimin sesudah zaman Sahabat yang tidak berada pada zaman maa ana 'alaihi wa ash-habii?. Mengenal hal ini, kita kembali kepada dasar keyakinan (Keimana) kita bahwa Islam adalah agama yang sempurna, benar dan lengkap. Segala hal diatur oleh Islam, meskipun tidak selalu rinci dan kaku. Bahkan kesempurnaan Islam terletak pada keluwesannya. , kelenturannya mengatur segala sesuatu:
  1. Ada yan diatur dengan ketat dan rinci
  2. Ada yang diatur dengan longgar dan lentur, dengan kadar kelenturan dan kelonggaran yang berbeda
Umumnya, hal-hal yang bersifat ibadah mahdlah (ritual) diatur secara ketat dan rinci, sedang hal-hal yang bersifat mu'amalah (sosial) diatur secara lentur-sekali lagi dengan kadar ketaatan dan kelenturan yang berbeda.

Islam pada era Rasulallah Shallallahu 'Alihi Wa sallam dan para Sahabat, ana 'alaihi wa ash-habii itu adalah Islam yang setandar, yang baku. Tetapi karena Islam itu untuk seluruh umat manusia dan untuk sepanjang zaman, maka yang standart, yang baku itu, sebagian harus dapat dikembangkan secara terkendali supaya tidak kehilangan standar, tidak kehilangan kebakuan. Tentu pengembangan secara terkendali itu sangat tidak mudah, memerlukan persyaratan yang berat, baik mengenai pelaku pengembangannya maupun proses, prosesur dan metode yang dipergunakan.

Pengembangan terkendali itulah yang lazim disebut dengan istilah ijtihad, pegerahan daya-fikir untuk menemukan pendapat agama tentang hal-hal baru yang tidak disebut secara jelas dan tegas (sharih) di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits, tetapi tetap selalu pada garis ajaran Al-Qur'an dan Al-Hadits. Rasulallah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam pernah menguji Sahabat Mu'adz bin Jabal Rhadiyyallahu 'Anhu, ketika akan di utus ke yaman untuk mengajar umat Islam di sana.
"Berdasarkan apa, ajaran yang akan anda sampaikan?"
"Berdasarkan Kitabullah" jawab sahabat Mu'adz.
"Kalau anda tidak menemukan dasarnya dikitabullah?"
"Dengan dasar Sunnatu Rasulillah"
"Kalau anda tidak menemukan dasarnya di Sunnah Rasulillah?"
"Saya akan berijtihad dengan pikiranku."
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam membenarkan jawaban-jawaban Sahabat Mu’ad tersebut. Ingat, yang dibenarkan ijtihad adalah tokoh yang setingkat sahabat Mu’ad, tidak sembarangan orang. Memang, ijtihad adalah satu-satunya pintu pengembangan ajaran Islam, tetapi tidak semua orang mampu melewatinya.

Sejak zaman Sahabat sampe pada Tabi’in dan Tabi’uttabi’ian banyak muncul tokoh-tokoh yang mampu berijtihad, meskipun tingkat ijtihad mereka berbeda-beda. Ada yang mampu berijtihad mengenahi satu dua masalah saja, ada yang mampu berijtihad untuk merinci hasil ijtihad tokoh lain, ada yang mampu berijtihad dengan menggunakan metode dan prosedur yang diciptakan oleh mujtahid lain, dan sebagainya.

Yang tertinggi tingkatnya diantaranya para mujtahid itu adalah tokoh mujtahid yang mampu berijtihad dengan menggunakan metode dan prosedur yang diciptakan (dirumuskan) sendiri. Mujtahid setingkat ini, lazim disebut dengan istilah Mujtahid Muthlaq Mustaqil.

Mujtahid setingkat ini tidak banyak jumlahnya. Yang paling terkenal karena metode ijtihadnya dan hasil-hasilnya dicatat dengan baik oleh para murid dan pengikutnya adalah Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan Hambali – meskipun mujtahid mutlaq tidak hanya empat Imam tersebut. Banyak tokoh-tokoh lain yng setingkat, tetapi tidak seterkenall mereka karena methode dan hasil-hasil iktihadnya tidak setertib yang empat itu dicatat oleh para murid dan pengikutnya.

Para Mujtahid Mutlaq Mustaqil itulah yang disebut Pendiri Madhab, yang artinya juga yang merumuskan ”metode” memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dan mengambil kesimpulan (istinbath) dari keduanya. Sebagai perwujudan sikap hati-hati (ihtiath) Pesantren mayoritas yang ada di Nusantara (Pesantren Nahdlatul Ulama’) sebagai representasi generasi Walisongo memilih salah satu dari empat madzhab yang dibangun oleh Imam Madzhab tersebut.

Bermadzhab dalam arti mengikuti metode pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk mendapat kesimpulan pendapat (istinbath) adalah satu-satunya kendali di dalam pengembangan ajaran Islam yang baku dan standart tersebut supaya hasil ijtihadnya dapat menjadikan Islam sebagai agama untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman, tanpa menyimpang dari garis standart itu.

Bermadzhab yang semula berarti mengkuti metode ijtihad itu berkembang berarti juga mengikuti hasil-hasil ijtihad tokoh Mujtahid tertentu. Dalam konteks ini, maka muncul istilah yang dikenal dengan ”Bermadzhab Manhaji” dengan arti mengikuti metode ijtihad dalam istinbath hukum, dan istilah ”Madzhab Qouli” dalam arti mengikuti qoul (pendapat) atau hasil ijtihad untuk refrentif istinbath selanjutnya.

Sesungguhnya setiap orang itu bermadzhab, baik manhaji maupun qouli, menurut kemampuannya masing-masing. Kalau tidak bermadzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi atau Hambali, mungkin bermadzhab Wahabi, Moh Abduh, Fadlur Rohman atau lain-lain. Barangkali, betapa mustahilnya kalau seseorang akan melakukan sholat, harus membuka dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang bagaimana niat, adab, tata cara sholat dan lain sebagainya.

Yang praktis (mungkin dilaksanakan) adalah bersholat dengan mengikuti rumusan tata cara sholat yang termaktub dalam kitab/ buku. Kebanyakan penyusun buku petunjuk sholat inipun belum sampai ke tingkat mujtahid – dia hanya m mengikuti pendapat guru-gurunya atau kiai-kiainya. Bermadzhab dengan baik adalah sesuatu yang alami, yang thabi’i, yang wajar dilakukan oleh semua orang.

Bermadzhab bukan martabat yang rendah. Bermadzhab tidak selalu harus dipertentangkan dengan berijtihad. Dua-duanya berangkai dengan proporsional. Faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Islam yang standar yang harus dikembangkan untuk menjadi panutan manusia di mana saja dan kapan saja.

Pintu mengembangkan itu adalah Ijtihad yang terkendali dan kendali itu adalah Haluan Bermadzhab. Mayoritas Ulama, Indonesia berpendirian bahwa Faham Ahlussunnah Wal Jama’ah harus diterapkan dalam tatanan kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang bertumpu pada karakter sebagaimana berikut ini :

1. Sikap Tawassuth dan I’tidal Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini Pesantren dan Ulama’nya akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).

2. Sikap Tasamuh Sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.

3. Sikap Tawazun Sikap seimbang dalam berkhidmat, menyerasikan kepada Allah SWT, khidmat kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidup. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.

4. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna dan bermanfa’at bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. Sikap- sikap dasar (tawasuth, i’tidal, tawazun dan tasamuh) serta dorongan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai bentuk kepekaan sosial ini dirasa sangat penting bagi Pesantren dan Ulama’nya sebagai pewaris Walisongo.

Sikap ini bersumber dari ajaran Islam dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia pada umumnya. Wallahu A’lam Bissowab... Semoga bermanfa’at...

0 komentar

Post a Comment