Tuesday, November 29

PESONA GUS MUS


Ada beberapa kali hal yang sangat mengusik saya, terutama ujaran-ujaran dari kalangan OPB (Orang Pintar Baru) mengenai sosok Gus Mus dan Cak Nun. Biasanya para OPB yang penampakan-nya paling sholeh dan sholehah ini doyan menilai sesuatu dari kulitnya. "Ahh si Gus Mus ga ada jenggotnya, ga nyunnah, jarang pake jubah, jidatnya ga item, jarang teriak-teriak pakai dalil-dalil berbahasa arab" (mboh lah mau ayat, hadits atau apapun yang penting bahasa arab). Bahkan mereka sama sekali tidak sudi menganggap Gus Mus sebagai Kiyai sekalipun Gus Mus lahir di kalangan keluarga Kiyai dan besar di Pesantren.

Para OPB lebih suka menyebut sosok seperti Gus Mus dan Cak Nun sebagai ‘Budayawan’, jadi seorang Budayawan tidak layak dijadikan rujukan agama. Beda dengan ustadz-ustadz yang berjenggot lebat, kocar-kacir, jidat hitam, selalu bergamis minimal celana cingkrang dan kemana-mana menenteng dalil-dalil berbahasa arab (mboh lah mau ayat, hadits atau lirik lagu 'Magadir' yang penting bahasa arab) dan selalu berteriak “Kembalilah pada Qur’an dan Sunnah”.

Orang-orang seperti ini sangat gampang meraih hati kalangan ‘awam religius’ yang gampang jatuh hati pada kulit, kendatipun sang ustadz adalah muallaf, ustadz dadakan yang baru kemarin sore pensiun jadi selebritis, atau.. atau.. ahh sudahlah.

Gelar ‘Budayawan’ yang diberikan pada Gus Mus dan Cak Nun pun digunakan sebagai dasar untuk menolak mereka. Mereka bilang “Ahh mereka kan tahunya cuma bikin syair, bikin puisi, mana tahu soal agama, mana pernah bahas bid’ah, bahas khilafah, bahas jihad, atau hal-hal 'syar’i' lainnya.”

Susah memang mengubah persepsi kalangan ‘puber agama’ ini. Orang-orang seperti Gus Mus dan Cak Nun dikenal sebagai budayawan bukan karena mereka hanya tahu membuat puisi dan syair, tapi mereka menghargai kearifan lokal dan budaya Nusantara, dan itulah sisi ‘Budayawan’nya. Mereka sudah khatam di pesantren dengan dalil-dalil mentah dalam beragama, dan mereka wujudkan dalam puisi dan sastranya.

Mereka paham bahwa dalil-dalil naqli yang mentah itu tidak bisa langsung disajikan kepada kalangan awam, sebagaimana buku-buku kedokteran tidak bisa langsung disajikan kepada masyarakat untuk menyuruh mereka mengobati dirinya sendiri.

Inilah bedanya mereka dengan ustadz-ustadz dadakan, yang penting sudah hapal dan bisa menyajikan satu dua hadits dan dua tiga ayat sudah berasa punya gelar Lc (Langsung ceramah) dan mengeluarkan fatwa-fatwa instan halal-haram, seruan jihad, Anti-Nasionalisme dan lain-lain, dan biasanya yang dadakan itu cenderung ekstrim dan radikal.

Ironisnya mereka banyak diikuti karena popularitasnya, penampakan yang agamis, berjubah, dengan jenggot melebat dan jidat menghitam, maka dengan itu kalangan ‘awam religius’ akan jatuh terpana menelan seluruh ujarannya.

Berbeda dengan orang-orang seperti Gus Mus dan Cak Nun ini, mereka sudah khatam sejak kecil dijejali dalil-dalil naqli dalam teks-teks suci agama, dan kini mereka menyeder-hanakannya dalam bentuk sastra dan bahasa seni pada kaumnya. Mereka tidak lagi suka menyajikan khotbah dan ceramah dengan dalil-dalil dalam bentuk mentah, tapi mereka memprosesnya dan menyajikannya dalam bahasa sastra. Sebagaimana Maulana Jalaluddin Rumi membuat syair-syair indah sufisme sebagai hasil renungan penghambaan dan pengembaraan tasawwuf, padahal ia adalah Syaikh besar sebuah Thoriqoh dan bukan sekedar “Budayawan”.

Anda tidak bisa memberikan dalil-dalil mentah kepada seluruh manusia dan menyuruh mereka menafsirkan sendiri-sendiri seraya menyebut itu mengikuti “Qur’an dan Sunnah”. Padahal Allah sendiri telah berfirman bahwa firman-firman-Nya dalam Qur’an itu “La yamassuhu illal muthahharun” "Tidak menyentuhnya (makna Qur'an) itu kecuali orang-orang yang disucikan". Jangankan masyarakat awam, para Imam mazhab pun saling berbeda pendapat dalam menafsirkan “Al-Qur’an dan Sunnah”.

Bila kita serahkan dalil-dalil mentah ke kalangan awam lalu masyarakat bebas seenaknya menafsirkan masing-masing, yang terjadi adalah munculnya para khawarij dan teroris-teroris semacam ISIS, Al-Qaeda, Boko Haram, Abu Sayyaf dan lain-lain yang menafsirkan “Qur’an dan Sunnah” seenak perutnya sendiri. Sebagaimana bila kita sajikan buku-buku kedokteran pada kalangan awam tidak lantas tiba-tiba bisa membuat mereka menjadi dokter. Kalau dilepas begitu saja, jadilah para dokter pelaku malpraktek yang sekadar belajar secara tekstual dari teks-teks mentah buku tanpa pembimbing.

Dalam acara Mata Najwa terakhir, saya mendengar kata wasiat terakhir dari Gus Mus. Dia berkata dengan sebuah kalimat simpel, “Tetaplah jadi manusia, mengertilah manusia dan manusiakanlah manusia”. Itulah inti alasan mengapa Tuhan menciptakan agama untuk manusia, dan itulah inti diutusnya Sayyidul Wujud Muhammad SAW sebagai Rahmatan lil ‘Alamin. Bukan hanya untuk satu golongan manusia tapi untuk segenap umat manusia, bahkan juga hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Manusia disini adalah manusia seutuhnya, manusia yang bukan hanya terdiri dari Nafs Basyariyah, tapi juga Nafs Insaniyah-nya. Manusia yang bukan hanya berwujud manusia, tapi jiwanya manusia.

Ahh.. jauuh sekali saya ini dibandingkan njenengan Gus.

Penulis: Sayyid Ahmed Zain Oul Mottaqin


0 komentar

Post a Comment