Saturday, December 3

Pasukan Anti Kuliah




PASUKAN ANTI KULIAH (Karena Kampus Bukanlah Perumus Masa Depan)

Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti

Ritual kami hanya membaca buku, dan membasuh kaki ayah ibu.”
Aku terperangah, membaca tulisan sahabatku, Rizki Sopiyandi, ketika menyoal ‘organisasi imajiner’ yang kuciptakan dalam novel PERPUSTAKAAN KELAMIN: PAKU (Pasukan Anti Kuliah). Melalui tulisannya, Rizki terkesan mentertawakan, menggugat, bahkan mencemooh organisasi yang tak pernah ada dalam dunia nyata ini. Tapi karena kutahu wataknya, dia pasti bercanda. Benarkah ini bercanda? Tidak sepertinya.

DUA RITUAL

Barudak PAKU adalah mereka yang tak punya biaya untuk kuliah, mereka yang tak lulus UMPTN, mereka yang tak jarang ‘diusir’ dosennya, mereka yang terkena Drop Out, dan mereka yang tercatat sebagai Mahasiswa tapi jarang kuliah.

Meski demikian, di dada mereka ada detak yang kuat, ‘Kampus Bukanlah Perumus Masa Depan’. Cita-cita mereka masih tetap tegak melalui buku, melalui penghormatan pada ayah ibu, karena itulah sejatinya cakrawala.!. Membaca buku dan membasuh kaki ayah ibu, adalah dua ‘ritual akbar’ yang haram ditinggalkan Barudak PAKU, karena mereka seolah ingin menegaskan, “Ayah ibu, kuliah kami memang tak sebaik yang lain, tapi melalui buku, kami tetap menemukan cakrawala.”

KAOS PAKU (Sebuah Pergeseran Pemakai)

Ketika memutuskan membuat kaos PAKU (Pasukan Anti Kuliah) yang jumlahnya hanya 15 pcs, awalnya aku berharap yang membeli kaos ini adalah Mahasiswa yang benar-benar ‘Anti Kuliah’, tapi yang terjadi justru sebaliknya. para pemakai kaos PAKU adalah mereka yang terbilang rajin mengikuti perkuliahan.

Sebut saja Fajar, Mahasiswa IAIN Cirebon, dia adalah kandidat mahasiswa teladan di jurusannya. Kemudian Diaz, yang juga Mahasiswa IAIN Cirebon, dalam satu semester dia hanya tak masuk satu kali, itu pun karena sakit.

Lalu Agi Muhammad, Mahasiswa Pascasarjana UIN Bandung, dia bahkan lebih memilih tidak shalat dibandingkan tidak kuliah. Selanjutnya Deden, Mahasiswa Bimbingan Konseling Islam UIN Bandung, dilihat dari wajahnya, dia tidak berbakat menjadi mahasiswa yang lulus di semester 16.

Contoh lainnya adalah Ipay, Seniman Lukis yang telah dituakan di organisasi LSLK (Lembaga Seni Lukis dan Kaligrafi), setelah menikmati 12 Semester di Jurusan Ilmu Hukum UIN Bandung, kini ia pindah ke Jurusan Aqidah Filsafat dan mulai lagi di semester pertama, disebabkan ia tak ingin kehilangan moment kuliah dalam masa mudanya. Yang tak kalah menarik adalah Deny Armer, dia masih SMA, tapi kaos Pasukan Anti Kuliah dipakainya kemana-mana.

SEMACAM TAMPARAN

Ada satu hal yang tak pernah kusesali setelah membuat kaos PAKU, yaitu ketika desain belakang kaos yang berbunyi ‘Ritual kami hanya membaca buku..’ menampar muka mereka sendiri yang lama tak membuka buku.

Melalui kalimat itu, para pemakai kaos PAKU seolah mendapat ‘wahyu’, sesungguhnya buku bukanlah barang mainan, melainkan sebuah peradaban. Sedikit demi sedikit, mereka seperti tercerahkan, bahwa ada dosa yang tak akan pernah diampuni Tuhan, yakni berhenti membaca.


0 komentar

Post a Comment