Tuesday, December 6

Pengabdi yang Jujur dan Bertanggung Jawab



Oleh: KH.A. Mustofa Bisri

Hari Ahad, 18 September 2016 yang lalu ketika saya menengoknya di RSPAD, bicaranya sudah tidak begitu jelas, lirih dan tersendat-sendat. Namun nada ketegasannya masih bisa dirasakan oleh siapa pun yang bisa mendengarkannya.

Di pembaringannya yang tampak tidak nyaman, lelaki yang kaya dengan pengabdian ini tidak kudengar sama sekali keluhannya tentang penyakitnya yang parah. Yang kudengar justru uneg-uneg-nya tentang keadaan dunia dan tanah-airnya; tentang kekhawatirannya akan nasib generasi mendatang; hingga tentang soal-soal kecil keluarga. Sesuatu yang menunjukkan bahwa hanya jasadnya saja yang sakit.

Pikiran, perasaan, perhatian, dan semangat pengabdiannya seperti tidak terpengaruh oleh sakitnya. Mungkin ini yang membuat saya -- tidak hanya berharap tapi -- yakin saudara saya ini akan sembuh. Namun ternyata Allah menghendaki yang lain. Kemarin, bersamaan dengan tenggelamnya matahari hari Selasa 20 September 2016, mantan pemegang berbagai jabatan negeri ini, Syeikh Dr. KH. Mohammad Maftuch Basyuni dipanggil ke haribaanNya. Innaa liLlaahi wainnaa ilaiHi raaji”uun.

***

Allah Maha Besar. Dari ibu yang cantik dan tegar, Nyai Hj. Mardhiyah Zuhdi, dan ayah yang ganteng dan jujur, KH. Basyuni Masykur; dari pasangan yang suka berkhidmah, dia lahir dan dibesarkan sebagai anak lelaki pertama di Keluarga Basyuni. Ganteng, jujur, tegas, dan mendedikasikan hidupnya untuk bekerja dan berkhidmah dengan jujur dan amanah. Bekerja dan berkhidmah, sebagaimana diturunkan dan dicontohkan oleh kedua orangtuanya, merupakan ibadah baginya. Dia bekerja dan berkhidmah, melayani kedua orangtua, guru, keluarga, umat, dan masyarakat .

Sejak muda, dia belajar – termasuk ketika di pesantren—sambil bekerja. Dia berkhidmah untuk keluarga sejak kedua orangtuanya masih hidup hingga keduanya tiada. Dialah Tulang-punggung Keluarga. Semua pekerjaan yang bersifat Khidmah dilakoninya dengan penuh semangat. Mulai dari menjadi Guru; Lokal-staf dan asisten Dubes di KBRI Saudi Arabia; Anggota Pasukan Garuda; Duta Besar (pernah menjadi duta besar RI di Maroko, Kuwait, dan Saudi Arabia); Protokol Negara, Kepala Rumah Tangga Presiden; Menteri Sekretaris Negara; Menteri Agama; hingga pekerjaan-pekerjaan sosial kemasyarakatan yang lain.

Meskipun bukan militer, disiplin dan ketegasannya tidak kalah dari tentara. Kedisiplinan dan ketegasan ini akan dirasakan menjadi sangat ‘keras’ apabila bergabung dengan sikap jujur, amanah, dan rasa tanggungjawabnya. Itulah yang dirasakan oleh keluarga dan siapa saja yang pernah berhubungan dengannya.

Ketika dia diserahi amanah untuk menjadi Menteri Agama RI tahun 2004 dengan prioritas ‘membersihkan’ kementerian yang berlabel agama itu, begitu selesai dilantik, dia kumpulkan keluarga dan sanak familinya -- baik dari pihaknya mau pun dari pihak isterinya. Kepada mereka semua, dia mengatakan bahwa dia mendapat amanat dari Pemerintah negeri ini untuk membantu Presiden mengurus Kementrian Agama. “Saya mohon bantuan dan dukungan kalian semua;” katanya waktu itu, “agar saya bisa menjalankan tugas ini dengan baik. Bantu dan dukunglah saya dengan doa dan terutama dengan tidak ngeron-ngeroni, mengganggu.” Kemudian meski masih dalam suara lembut, terasa semakin tegas nadanya, “Jangan pernah punya pikiran bekerja atau berusaha melalui atau di kementerian yang saya pimpin ini. Percuma. Sesuai prosedur pun, tidak akan dilayani.”


Almarhum Dr. KH. Mohammad Maftuch Basyuni, mantan menteri agama di era Presiden Soeharto.
(foto: KH.A.Mustofa Bisri)


Nusron Wahid, kepala BNP2TKI, pernah cerita dengan nada terheran-heran. Suatu ketika dia sedang berada di dekat Menteri Agama yang sedang membaca sebuah proposal. Baru membaca halaman depan Proposal tersebut, Menteri berhenti dan menunjukkan kepada Nusron tulisan yang berbunyi: Mengetahui: Bapak Fulan bin Anu. “Nus, kamu kenal Bapak ini?” tanya Menteri sambil menunjukkan surat permohonan itu. “Lho itu kan besannya saudara Panjenengan sendiri;” jawab Nusron yang politikus Golkar itu. Maksudnya mendukung agar proposal itu segera disetujui. Ternyata begitu mendengar jawaban Nusron, sang Menteri pun menyingkirkan proposal dan tidak melanjutkan membacanya.

Tahun 2005, ketika saya dan isteri akan naik haji, kebetulan dia sebagai Menteri Agam sedang bertugas kunjungan kerja di Jawa Tengah. Dia dan stafnya menyempatkan mampir ke rumah. Kebetulan waktu itu salah seorang adiknya juga sedang ada bersama kami. Entah apa yang tersirat dipikirannya, melihat kakaknya yang menteri agama itu, tiba-tiba si adik ini membisikiku, “Mas, bilangkan ke Mas Maftuh dong; di antara saudara-saudara, aku belum haji sendiri.”

Ketika kemudian aku menyampaikan apa yang dibisikkan adiknya, dia pun berkata langsung kepada si adik, “Kau belum haji sendiri ya?” Spontan si adik menjawab penuh harap, “Belum, Mas.” Lalu apa yang dikatakan si kakak yang menteri agama ini membuat semua yang mendengar, terutama si adik sendiri, terkejut. Dengan nada serius dia berkata kepada adiknya yang dicintainya itu, “Mintalah kepada mas dan mbakyumu yang sebentar lagi akan berangkat ke tanah suci untuk mendoakanmu .”

Adalah mengherankan -- atau malah sudah semestinya—dia yang lama ‘mengabdi’ pak Harto (sejak membantu keluarga presiden yang nyaris seumur hidup itu dalam pelaksanaan ibadah haji, hingga menjadi Kepala Rumah Tangganya), justru sangat anti KKN.

Apa yang saya ceritakan itu merupakan sedikit contoh dari sikap dan perangai bawaan Mas Maftuh Basyuni, Allahu yarham, yang tetap tegar menjadi pengabdi yang berkhidmah dengan penuh kejujuran, tanggungjawab, dan amanah. Sering kali didorong oleh tuntutan tanggung jawab dan amanah Khidmah, sikapnya terkesan sangat lugas bahkan keras. Oleh karenanya, mungkin banyak orang merasa kecewa. Maka kepada mereka, saya sebagai saudaranya, memberi kesaksian bahwa apa yang dia lakukan semata-mata demi kebaikan bersama dan dengan kerendahan memohonkan maaf.

Semoga Allah memberi negeri ini banyak pemimpin dan tokoh pengabdi yang ikhlas, jujur, bertanggungjawab, dan amanah, sebagaimana alamrhum. Aamiin.


0 komentar

Post a Comment