Tuesday, February 7

Antara Postmodernisme dan postradisionalisme


Penulis: Ustadz Fauzan Noor, (pengasuh pondok pesantren, Cendikiawan muda NU, asal Tasikmalaya.

Mungkin sebagian dari kita kita masih merasa asing dengan gagasan post-modernisme atau post-radisionalisme.

Pada dasarnya kedeua gagasan tersebut lahir sebagai respon atas kegelisahan dan kegamanagannya terhadap paham modernisme. Postmo dan postra memikiki kesamaan namun juga memiliki perbedaan yang khas.

Postmodern pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, memang harus kita akui kata postmodern itu sendiri sebenarnya muncul sebagai bgaian dari moderintas. Namun perluasan makna dan pahamnya menjadikan posmo liyan bagi paham midernisme.

Charles Jencks dengan bukunya "The Language of postmodern". Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Ada kejadian unik di bulan juli tahun 1972, sebuah bangunan yang melambangkan kemodernisasian di ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini oleh sebagiaan pemikir dianggap sebagai kematian modern dan menandakan kelahiran postmodern.

Bertitik tolak dari hal ini tersebut postmodern mulai memasuki ranah umum. Pemikiran dan gagasan postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan termasuk filsafat. Kata ‘post’ sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode akan tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal yang berbau modern atau beyond modernity. Postmodern ini lahir sebagai kritik atas realitas modern yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan.

Ajaran utama dari gagasan posmodern adalah penolakanya atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern. lalu memberikan tempat bagi narasi kecil yang tersebar dan beraneka ragam untuk menampakkan eksistensinya. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa hal-hal dibanggakan oleh pikiran modern itu untuk diragukan dan apa yang dulu dianggap rendah justru dihargai dan dilakukan pemekaran terhadapnya.

Pendekatan postmodernisme sangat didasarkan pada subjektivitas. Salah satu pemikiran postmo yang paling kentara akan gagasan subjektivitas ini adalah Jaques Derida. Dalam pemikiranya Derrida memperkenalkan istilah Dekontruksi. Dekontruksi adalah sebuah metode hermeneutika yang menjelaskan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal teks adalah benda yang mati sehingga dapat dibangun kembali pondasinya.

Jacques Derrida mengatakan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Sehingga banyak kebenaran yang diangap final. Hal Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu.

Postmodernisme juga berusaha menciptakan bias makna serta mempertanyakan kembali gagasan-gagasan besar yang telah menghegemoni umat manusia dewasa ini. Michael Foucault berpendapat bahwa melalui gagasan post-modernisme, realitas akan menampakan fenomena sejati hubungan antara ilmu dan kekuasaan. Paham postmo ini sangatlah pelik. Berbagai macam ‘tren’ pemikiran lahir dari pondasi berfikir postmodernisme.

Salah satu tren yang lahir akibat efek dari postmodernisme ini adalah gagasan post-tradisionalisme. Paham Post-tradisionalisme “postra” adalah sebuah konstruk intelektual yang berpijak dari kebudayaan dari dalam bukan tekanan dari luar. Gagasan postra ini sejatinya adalah sub bagian dari gagasan postmodernisme.

Gagasan Post-tradisionalisme bertitik tolak dari transformasi sebuah tradisi dalam upaya pembentukan tradisi baru yang berakar pada keberadaan kebudayaan sendiri yang masih bias. Sepengetahuan penulis gagasan Post-tradisionalisme mulai mencuat ke permukaan oleh para intelektual muda Nahdatul ulama (NU) yang dipengaruhi oleh para pemikir islam modernis seperti Fazlur Rahman, Abed al jabiri, Mohamed Arkoun, Nasr hamid abu zayd dan lain-lain.

NU yang bernafaskan islam mengagas pemikiran post-tradisionalisme Islam ini dengan pondasi kebudayaan lokal. Sehingga dalam tahap perkembanganya ‘tren’ bahwa Islam itu identik dengan arab mulai dikritisi dari akar-akarnya. Tujuanya adalah untuk menampakan Islam secara hakikat yang tidak terbentur dalam suatu kontruks kebudayaan tertentu.

Gerakan Post-Tradisionalisme ini adalah semacam “lompatan tradisi”. Yang berangkat dari suatu tradisi yang secara terus-menerus berusaha memper-baharui dirinya sendiri dengan cara mendialogkan dengan modernitas.

Mohammed Arkoun menjelaskan bahwa kemunculan post-tradisionalisme Islam dipicu oleh kejumudan berpikir dalam konteks pemikiran islam dengan indikator: tunduk pada wahyu dan ortodoksinya, penghormatan pada otoritas dan keagungannya (imam mazhab dalam konteks fiqih, teologi dan tasawwuf) dan lain sebagainya. Post-tradisionalisme sangat kental dengan nuansa kultural, teologis antroposentrik, dan filosofis-sosiologis. Berbeda dengan paham postmo yang bersifat lebih universal.

Persamaan antara postmo dan postra terletak pada kritiknya terhadap paham modern. Namun berbeda dalam upaya pengembanganya. Gagasan Postra lebih terkukung dengan sebuah kontruks teologis dan budaya tertentu. Penulis menyimpulkan bahwa gagasan postra sejatinya adalah sub bagian dari paham postmodernisme yang lebih cantik. Karena jika kebudayaan yang ada di setiap negara dikembangkan oleh gagasan postra,penulis yakin akan terjadi dinamika sejarah yang bersifat harmonis.

Dewasa ini jika kita berfikir berdasarkan paham postmodernisme dan post-tradisionalisme maka sejarah ilmu pengetahuan dapat dilacak pergerankan-nya sehingga terhindar dari keter-pengaruhan paradigma-paradigma yang bersifat eksploitasi positivistik.

Semoga Bermanfaat.

0 komentar

Post a Comment