Thursday, February 16

Enam Nama Kiai Dahlan dan pentingnya Thabaqah Ulama Nusantara


oleh: Gus Rijal Mumaziq Z (Ketua Lembaga Ta'lif wa Nasyr PCNU kota Surabaya)

Kita beruntung hidup di masa sekarang, setelah ulama di masa lalu menulis thabaqah berdasarkan corak madzah maupun bidang keilmuan para ulama salaf. Untuk melihat klasifikasi ulama madzhab Hanabilah, sudah disediakan Thabaqah Hanabilah karya Imam Ibnu Abi Ya'la al-Farra' al-Hanbali. Untuk Syafiiyah karya Imam Jamaluddin Abdurrahim al-Asnawi (w. 772 H ), dan Thabaqah Syafiiyah Kubra karya Imam Tajuddin As-Subki.

Sedangkan di bidang tafsir, Imam As-Suyuthi sudah menulis Thabaqah al-Mufasirin. Selain itu, masih banyak kitab Thabaqat berdasarkan klasifikasi bidang keilmuan maupun berdasarkan madzhab. Melalui thabaqah ini kita bisa melacak nama-nama ulama berdasarkan biografi, karakteristik, dan karya masing-masing ulama.

Dengan adanya semacam indeks nama disertai riwayat hidup sekilas ini, kita bisa dengan cermat meneliti nama-nama ulama dan menghindari kesalah-pahaman terhadap nama ulama yang mirip maupun hampir mirip. Misalnya banyak ulama yang menisbatkan nama dengan daerah kelahirannya, Ray, Persia, yang kemudian disebut Ar-Razi. Ada banyak Ar-Razi dalam sejarah keilmuan Islam. Ada juga beberapa Isfirayini dan Al-Isfihani. Selain itu ada juga penisbatan asal daerah yang mirip, seperti mufassir Imam At-Thabari (w. 310 H) yang berasal dari Thabaristan, di sekitar Laut Kaspia, dengan Muhaddits Imam Al-Tbabrani (w. 360 H.) yang lahir di Thabariyah, Palestina.

Pertama Thabaristan, yang kedua Thabariyah. Nyaris identik. Ini belum mengulas antara Ibnu Arabi dan Ibnu al-Arabi, antara Ibul Qayyim al-Jauzi dengan Ibnul Jauzi, serta duet mantap duo ayah dan anak: Taqiyyuddin dan Tajuddin As-Subki. Juga antara Ibnu Rusyd al-Jadd (qadli), Ibnu Rusyd al-Ab (qadli) dengan Ibnu Rusyd al-Ashghar sang folosofi, dokter, sekaligus faqih jempolan. Ibnu Rusyd: satu nama yg dipakai bapak, anak, dan cucu. Nama sama, tapi dengan kiprah yang berbeda. Yang paling masyhur adalah yang Ibnu Rusyd Al-Asghar yang menulis Bidayat Al-Mujtahid.

Ada juga trio al-Bulqini. Ini tiga ulama jempolan asal Mesir di mana matarantai intelektual, khususnya fiqih, mayoritas ulama Nuantara menyambung melalui jalur ini. Surajuddin al-Bulqini (724-805 H./ 1324-1403 M), yang juga disebut sebagai mujaddid, adalah ayah dari dua al-Bulqini lainnya: jalaludin al-Bulqini (763-824 H./1362-1421 M) dan adiknya, 'Alamuddin al-Bulqini (791-868 H./1388-1464 M.)

Selain itu, ada juga dua Abu Bakar al-Qaffal (berdasarkan namanya, beliau di masa muda adalah perajin gembok): Imam Abu Bakar Abdullah bin Ahmad bin Abdullah al-Qaffal As-Shaghir (417 H.) dan Imam Abu Bakar Muhammad bin Alu Asy-Syasi al-Qaffal al-Kabir (w.365 H).

Nama pertama berasal dari khurasan, yang kedua lebih senior berasal dari Syasyi (Tashkent, Ibukota Uzbekistan). As-Shaghir kondang dengan keilmuan fiqih, sedangkan al-Kabir masyhur dengan penguasaannya di bidang ushul fiqih. Makam Imam Syasyi al-Kabir berada di samping makam Bukharai di Tashken.

Dalam wujud perdebatan, antara kelompok Aswaja dengan Wahhabi mengenai penisbatan nama "Wahabi" juga memantik perdebatan. Kubu Aswaja menisbatkan nama madzhab ini dengan Muhammad bin Abdul Wahhabi mulai mendominasi keagamaan di Harmain. Misalnya, Mufti Syafiiyah, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dengan tulisannya yang bagus, al-Fitnah al-Wahhabiyah. Sampai sekarang, sebutan Wahabbiyah ini masih dipakai oleh kalangan ahlussunnah wal Jamaah untuk mengidentifi-kasi sebuah aliran keagamaan.

Sebaliknya kubu Wahhabi tidak terima. Mereka beranggpan apabila sebutan sinis "Wahhabiyah" adalah propaganda murahan di mana sebelumnya sebutan ini dinisbatkan kepada aliran sempalan bercorak khawarij yang dipimpin oleh Abdul Wahab Rustum (w. 211 H..), yang hidup beberapa abad sebelum Muhammad bin Abdul Wahab (w. 1206 H.).

Di Indonesia, bagaimana?

Di Indonesia, dalam contoh paling sederhana saja, masih ada beberapa orang salah mengutip nama ulama, misalnya (Abu Zakariya) Imam an-Nawawi (631-676 H/1233-1277 M), fuqaha sekaligus ahli hadits kenamaan kelahiran Damaskus, yang namanya sama dengan Syekh Nawawi (al-Bantani), maha guru ulama Nusantara (1230-1314 H/1813-1897 M).

Bahkan seorang cendikiawan terkemuka di Indonesia sempat keliru memyebut "Arbain An-Nawawiyah" sebagai karya Syaikh Nawawi, padahal karya di bidang hadits ini adalah buah pikiran Imam An-Nawawi. Perbedaannya hanyalah sebutan "Imam" dan "Syekh", tapi butuh kejelian untuk mengenalinya. Demikian pula tampaknya ada kekeliruan mengenai karamah Imam Nawawi Ad-Dimasyqi yang dinisbatkan kepada Syekh Nawawi al-Bantani.

Di lain pihak, dalam tradisi kitab kuning yang kuat mengakar dalam tradisi Islam Nusantara, ada nama yang cukup melegenda: Syaikh Zainudin al-Malibari (w. 987 H./1579 M). Beliau adalah ulama fiqh Madzhab Syafii kelahiran Malabar, India yang juga disebut sebagai Zainuddin Ats-Tsani, karena kakeknya juga bernama Zainuddin. Zainuddin Ats-Tsani ini adalah penulis Fathul Mu'in yang merupakan Syarah atas karyanya sendiri, Qurratul 'Ain bi Muhimatid Din.Irsyadul ibad ila sabil Ar-Rasyad adalah karya lainnya.

Sedangkan kakeknya, Zainuddin bin Ali bin Ahmad al-Malibari juga merupakan pakar fiqh Syafiiyah yang lahir di Malibar/ Malabar pada tahun 872 H/1467 M dan wafat di ponani (Fanan) pada 928 H./ 1521 M. Karya sang kakek yang cukup populer di Indonesia adalah kitab tasawuf Hidayatul Adzkiya ila Thariqil Auliya.

Bahkan, saya menduga, KH. Santoso Anom Besari, keturunan Kiai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo, adalah pengagum kitab Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya' sehingga menamakan putranya dengan tabarrukan dengan Zainuddin al-malibari al--Fanani ini, hingha kelak putranya, KH. Zainuddin Fanani ini, menjadi salah satu pendiri pesantren Darussalam Gontor bersama saudara-saudaranya.

Kembali ke bahasan awal. Selain salah sangka di atas, ada banyak nama ulama Indonesia yang mirip. Di kurun awal, ada Syaikh Khatib As-Sambasi (1217 H./ 1803-1875 M) dan Syaikh Khatib al-Minangkabawi.

Syaikh khatib Sambas adalah ulama tarekat yang menggabungkan dua aliran besar: Qodiriyah dan Naqsyabandiyah, di mana melalui ijtihad ruhaniyahnya beliau menggabungkannya nenjadi Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang memiliki jutaan pengamal di kawasan Asia Tenggara.

Sama dengan Syaikh khatib Sambas yang juga banyak menghabiskan waktu mengajar di Makkah hingga wafat di kota suci ini, Syaikh khatib yang kedua, al-minangkabawi (1860-1916), adalah ulama fiqh dan menjadi guru bagi para ulama Nusantara di awal abad ke-20. Dua muridnya KH. Ahmad Dahlan KH. M. Hasyim Asyari, dan KH. Abdul Halim Majalengka kelak menjadi penggerak kemajuan pendidikan dan berorganisasi yang mereka dirikan (Muhammadiyah, NU, dan PUI).

Selepas era ini ada juga beberapa nama yang mirip, misalnya antara Buya Hamka dan ayahnya. Haji Karim Amrullah (1879-1945), adalah penggerak pendidikan Islam di Sumatera Barat melalui Sumatra Thawalib, sekolah Islam modern pertama di zaman pergerakan. Sedangkan anaknya, Haji Abdil Malik Karim Amrullah aliad Buya Hamka (1908-1981), adalah sastrawan, mufassir, ahli fiqh, dan ulama Muhammadiyah yang berpengaruh.


Selain itu, di kalangan kaum muslim tradisionalis, ada dua nama KH. Abdul Halim yang sama-sama berasal dari Majalengka. Nama pertama, KH. Abdul Halim alias KH. Muhammad Syathori (Otong Satori) yang lahir pada 26 Juni 1887. Beliau diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 2008. Ajengan Halim adalah pendiri perserikatan Ulama Indonesia (PUI) maupun persatuan umat Islam. Di dalam konteks kenegaraan, beliau aktif sebagai anggota BPUPKI, bahkan setelah kemerdekaan sempat menjadi Bupati Majalengka, dan aktif menentang DI/TII sampai akhir hayatnya di tahun 1962.

Sedangkan KH. Abdul Halim berikutnya adalah KH. Abdul Halim dari Nahdlatul Ulama. Beberapa blog dan website saya cek banyak yang tertukar menempatkan fotonya. Foto Ajengan Halim PUI disebut sebagai foto kiai Halim NU, demikian pula sebaliknya. KH. Abdul Halim yang kedua ini juga terkenal dengan sebutan Kiai Halim Leuwimunding (salah satu daerah Majalengka). Pria kelahiran 1898 ini adalah salah satu kader KH. Abdul Qahab Chasbullah saat belajar di Makkah, yang kemudian rela berjalan kaki dari Majalengka ke Surabaya untuk bergabung dengan Nahdlatul Ulama yang baru berdiri.


Santri Tebuireng angkatan pertama ini juga terlibat dalam kepengurusan NU generasi awal. Putranya, KH. Asep Saifudfin Halim, yang pernah menjabat sebagai ketua PCNU kota Surabaya, saat ini mengasuh Ponpes Amanatul Ummah di Surabaya dan di Pacet Mojokerto dan sekaligus mengabadikan nama KH. Abdul Halim yang wafat pada 1972 ini sebagai nama sekolah tinggi di Mojokerto.

Di antara kebingungan lain yang dialami oleh beberapa nama kiai Dahlan yang populer dan sempat terjadi kerancuan. Nama pertama tentu sajah KH. Ahmad Dahlan alias Muhammad Darwis, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Cendikiawan Deliar Noer, dalam salah satu karyanya, menyebut apabila Kiai Ahmad Dahlan ini juga ikut memprakarsai berdirinya majlis Islam A'la Indonesia alias MIAI, pada tahun 1937. Padahal apabila ditelisik, Kiai Dahlan Muhamadiyah wafat pada tahun 1923, jauh sebelum berdirinya MIAI. Lantas siapa sebenarnya Kiai Dahlan pendiri MIAI ini?


Nama lengkapnya KH. Ahmad Dahlan bin KH. Muhammad Achyad, dari kebondalem Surabaya. Beliau adalah aktivis pergerakan yang membidani beberapa embiro NU, seperti Tashwirul Afkar, dan kemudian terlibat penuh dalam pendirian organisasi NU, 1926, sebagai wakil Rais Akbar. Ulama kelahiran 30 Oktober 1885 ini juga menulis beberapa risalah yang mengkonter perdebatan furuiyah antara kaum pembaru dan kaum Tradisionalis yang meruncing di era 1920-an tersebut. Sahabat saya, Dr. Wasid Mansyur, menuliskan biografi Kiai Dahlan Kebondalem ini dengan judul "Kiai Ahmad Dahlan: Aktivis pergerakan dan pembela Ajaran Aswaja" (Surabaya: pustaka Idea, 2015).

Sebelum era Kiai Dahlan Muhammadiyah dan Kiai Dahlan MIAI, ada juga era keemasan Kiai Dahlan Falak. Siapa beliau ini? Nama lengkapnya KH. Dahlan bin Abdullah Attarmasi Assamarani. Beliau pakar falak yang kemudian diambil menantu oleh KH. Saleh Darat. Penulis Natijatul Miqat yang juga adik kandung Syaikh Mahfudz Attarmasi ini adalah salah seorang ulama Nusantara yang diakui kepakarannya di bidang falak.

Dalam buku Materpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945 karya Zainul Milal Bizawie disebutkan bahwa KH. Ahmad Dahlan dan sahabatnya, Syaikh Muhammad Hasan Asy'ari al-Baweyani, berangkat menuju beberapa wilayah Arab dan menuju beberapa wilayah Arab dabn menuju ke Al Azhar Kairo. Di Kairo keduanya berjumpa dengan dua ulama Nusantara: Syaikh Jamil Djambek dan Syaikh Ahmad Thahir Jalaludin.

Selama di Kairo keduanya menghatamkan kitab induk ilmu falak karya Syaikh Husain Zaid Al Mishri, Al Mathla' fi Al Sa'id fi Hisabi al Kawakib 'ala Rashdi al Jadid yang ditulis awal abad 19. Sepulang dari rihlah ilmiah ini, beliau mengembangkan kajian keilmuannya di Semarang. Kiai Dahlan Falak ini lahir di Pacitan, 1862, dan wafat di Semarang, 1911. Makamnya bersebelahan dengan mertuanya, KH. Saleh Darat.

Sedangkan Kiai Dahlan selanjutnya adalah KH. Dahlan Abdul Qohar, salah seorang ulama asal kertosono nganjuk yang ikut membidani kelahiran NU. Karib KH. Abdul Wahab Chasbullah ini bersama Syaikh Ghanim al-Mishri ikut melakukan negosiasi ke Raja Arab Saudi, Ibnu Saud, mengenai kebebasan menjalankan mazdhab dan beberapa tuntutan lain melalui wadah komite Hijaz, beberapa saat NU berdiri.

Adapun kiai Dahlan berikutnya juga berasal dari NU. Lahir di Pasuruan, 1909, dengan nama Muhammad Dahlan, beliau tercatat sebagai penggerak (muharrik) Ansor NU di awal berdirinya bersama KH. Abdullah Ubaid. Dikemudian hari, aktivis yang dianugrahi suara merdu ini menjabat sebagai ketua PBNU, lalu menjadi menteri agama (menggantikan KH. Saifuddin Zuhri) di awal orde baru. Kiprah yang paling menonjol adalah merintis Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ), dan bersama KH. Ibrahim Hosen, prof. Mukti Ali, KH. Zaini Miftah, dan KH. Ali Masyhar merintis berdirinya perguruan Tinggi Ilmu Qur'an pengamal Dalil Khairat hingga akhir hayatanya ini dimakamkan di TMP Kalibata, pada 1 Februari 1997.

Kiai Dahlan yang paling terakhir adalah KH. Dahlan Salim Zarkasyi atau yang masyhur dengan sebutan Kiai Dahlan Qiraati. Beliau turut andil dalam pengembangan ilmu al-Qur'an di Indonesia dengan metodenya, Qiraati. Hamilul Qur'an yang lahir pada 1928 ini dikenal sebagai sosok yang mencintai anak-anak dan di sisi lain berusaha menanamkan kecintaannya al-Qur'an kepada mereka. Hingga akhirnya dengan metode Qiroaati, beliau ikut turut serta mengembangkan kajian keilmuan al-Qur'an dan membantu masyarakat awam dalam membaca al-Qur'ana.

Kiai Dahlan mungkin tidak pernah menyangka metode hasil karyanya akan bisa sepopuler seperti sekarang ini. Bermula dari pengajian di sebuah teras rumah di jl. MT. Haryono, kampung kebonarum, semarang, kini Qiraati telah dimanfaatkan dan dipelajari oleh puluhan ribu masyarakat di berbagai plosok Nusantara. Bahkan, saat ini Qiraati juga telah merambah hingga ke beberapa negara Jiran. Namun sayang, beliau tidak sempat ikut menyaksikan kemanfaatan Qiraati yang dulu beliau rintis, sebab KH. Dahlan Salim Zarkasyi telah wafat pada tanggal 20 Januari 2001 yang lalu.

***

Berdasarkan pemaparan di atas, dan mengingat pentingnya penelusuran data secara komprehensif agar tidak terjadi silangsengkarut sejarah ulama kita, maka penyusunan Thabaqat Ulama Nusantara saya kira menjadi langkah paling tepat. KH. A. Musthofa Bisri pernah menyatakan apabila Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, salah seorang muhaddits keturunan Indonesia yang bermukim di Makkah, pernah menyatakan cita-citanya menulis Thabaqat Ulama Indonesia. Tujuannya, kata Gus Mus mengutip pendapat Syaikh Yasin, agar kiprah ulama Indonesia bisa mendunia. Namun, sayangnya, hingga kini cita-cita Syaikh Yasin belum ada yang melanjutkan.
Wallahu A’lam Bisshawab.


0 komentar

Post a Comment