Wednesday, May 18

JAKARTA DAN GETARAN KEPRIHATINAN KH. WAHID HASYIM

Semenjak beliau hijrah ke ibu kota Jakarta karena tuntutan politik dan amanah yg mesti beliau jalani, hari demi hari mulailah beliau merasakan betapa kehidupan Jakarta lingkungan peran yg sedang beliau lakoni begitu jauh dari nilai-nilai agama dibandingkan ketika masih di Tebuireng Jombang yg penuh nuansa religius.


Sebagai orang yang lahir dan tumbuh diling-kungan pesantren, terlebih beliau putra Hadrotussyehk, tentulah kondisi itu sangat men-gganggu batin beliau. "Jakarta itu seperti neraka!" demikian konon yg pernah beliau katakan pada sahabat-sahabat beliau.

"Aku harus melakukan sesuatu dalam kehidupan spiritualku, aku akan rugi nantinya kalau tidak melakukannya" batin beliau. Karena itu kemudian beliau mencanang-kan diri akan berpuasa setiap hari (selain hari2 yg diharamkan berpuasa) dan menghatam-kan Al'Qur'an seminggu sekali selama hidup di Jakarta sebagai kafarat hidup di Ibukota.

Dua hal itu beliau buktikan dan lakukan dengan disiplin sekali, hingga diceritakan pernah suatu hari beliau bersama sang istri bertamu kerumah seorang menteri saat beliau sedang berpuasa, dan beliau tidak menolak ketika tuan rumah mengajak-nya makan bersama. Sambil ber-bicara beliau tampak mengunyah, padahal makanan sudah dipindahkan kepiring istri beliau yang duduk disampingnya ketika tuan rumah lengah.

Bisa berpuasa setiap hari dan hatam Al'Qur'an seminggu sekali bagi seorang politikus aktif, birokat hidup ditengah hingar bingar ibukota, adalah sesuatu yg teramat sangat istimewa sekali. Hanya orang pilihan Alloh swt saja yg bisa melakukan-nya, tentu jauh berbeda ketika yang melakukan itu seorang kyai yg tinggal dipesantren dikota kecil nan jauh dari keramaian Jakarta.

Syeikhul Islam KH Maimum Zubair pada salah satu ceramahnya pernah dawuh:

"Sholat 5 waktu yg dilakukan dengan baik dan benar oleh seorang tukang becak, bisa jadi lebih bernilai katimbang yg dilakukan kyai pesantren".

   Mungkin karena faktor kesulitan, rintangan tantangan yang lebih berat dalam menjalankannya yg menjadi per-timbangan dawuh Syeikhul Islam Nusantara ini.

Bukankah Nabi saw pernah bersabda pada Sayyidah A'isyah RA :

" اجرك على قدر نصبكك "

(Kadar pahala ibadahmu sesuai kadar kesulitan yg kamu alami. HR Muslim).

Meski sudah demikian, beliau KH Wahid Hasyim masih tetap mem-prihatinkan kehidupan ukhrowi beliau di Jakarta, seringkali ketika bertemu sahabat2 lamanya, beliau mengatakan: " Pokoknya aku besok harus pulang ke Tebuireng!". Namun semakin hari, tugas amanat semakin menjeratnya untuk tetap tinggal di Jakarta, karena memang beliau kader emas yg dimiliki Nahdlatul Ulama kala itu.

Hingga terjadilah musibah itu, mobil yg ditumpanginya bersama Abdurrahman Wahid sang penerus emasnya men-galami kecelakaan disekitar cimahi Bandung. Setelah sempat dirawat di RS Boromeus di Bandung, pada hari Ahad 19 April 1953 diusia yg masih sangat muda, 39 th, beliau dipanggil kehadlirat Alloh swt.

Jenazah beliau diangkut ke Jakarta dan setelah disemayamkan sejenak, lalu dterbangkan ke Surabaya, selanjutnya dibawa ke Jombang untuk dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Mungkin itulah jawaban dari Alloh swt atas keinginan kuat beliau untuk bisa kembali ke Tebuireng yg selama itu tidak kunjung kesampaian.

Musibah itu tentu mengejutkan masyarakat. Boleh jadi ribuan bahkan jutaan masyarakat menangisi kepergian beliau, tetapi itulah awal ketenangan kedamaian beliau setelah sekian tahun dibelit keresahan dan ke-perihatinan hidup di Jakarta yang hampir selalu membuat-nya tidak bisa tidur nyenyak. Setengah abad lebih sudah beliau meninggal-kan kita.

Kini... Masihkah ada dari politikus, wakil rakyat atau pejabat kita yang merasakan Jakarta seperti Neraka, sebagaimana yang pernah beliau rasakan ?!...Lalu, apa yang sudah mereka canangkan pada diri mereka sebagai kafarat hidup di Jakarta ?!...

Ataukah Jakarta sekarang terasa bak taman surgawi yg teramat berat dan sayang untuk ditinggalkan, meski barang sejenak untuk sekedar bersilaturahmi pada sahabat handai taulan yg ada di kampung halaman ?!.... Atau malah jeruji penjara Jakarta pun masih terasa lebih nyaman dbanding udara segar diluar Jakarta?!...

Wallohu A'lam.
Lahul Faatihah

Diposkan oleh: Ustadz AN Ang-hab

0 komentar

Post a Comment