Thursday, June 16

Khilafah dan problem kedaulatan kita


Seandainya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tetap bersikukuh dengan pendirian anti-penjajahan ekonomi global, saya kira pak KH. Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU, tidak akan bersuara keras seperti sekarang.

Seandainya, HTI melanjutkan kritik dan gugatannya terhadap rezim Neo-Liberalisme seperti Freeport, Newmont dan Exxon di Indonesia,Nahdlatul Ulama tentu akan menganggap HTI sebagai bagian dari elemen bangsa yang peduli dengan  kemerdekaan Indonesia dalam bidang ekonomi.

Tapi, ternyata, suara khilafah dan  syariat Islam HTI justru lebih nyaring dibandingkan suaranya tentang penjajah ekonomi.

Bahkan,isu khilafah ditarik masuk ke dalam umat Islam Indonesia sebagai kampanye pemurnian pemahaman keIslaman. "Siapapun yang beriman kepada Alloh dan rasul-Nya pasti akan mendukung tegaknya khilafah di bumi Indonesia", tandas Hafiz Abdurrahman, pimpinan HTI, dalam konfrensi khilafah di senayan, Agustus lalu.

Seakan mayoritas bangsa kita dianggap tidak beriman cuma karena menolak agenda khilafah HTI!

pertanyaan kita, mengapa HTI mencari "masalah" itu ke dalam bangsa kita sendiri, dan bukan keluar, ke bangsa lain yang lebih hegemonik? Dan mengapa mereka menggeser khilafah dan syariat Islam sebagai isu politik menjadi isu keimanan?

Dalam soal ini, saya pernah mendengar respon KH. Ma'ruf Amin ketika sekelompok orang mengusulkan kepada MUI untuk memasukan isu khilafah ke dalam agenda keputusa MUI. "kantongin ajah khilafah ituh!", tandas kiayi nasionalis dari Nu itu.

Tidak heran kalau pak Hasyim menyebut isu khilafah ini sebagai bagian dari agenda idiologi-idiologi tran-nasional isu itu bukannya memperteguh kedaulatan bangsa kita.

Tapi memaksakan diri masuk menjadi bagian dari suara atau aspirai kebangsaan kita, sebagai kosakata Politik kita.

Sebutan 'trans-nasional'' merujuk kepada pergerakan idelogi-ideologi global, yang melintasi batas-batas negara bangsa.

Ideologi-ideologi global tersebut bukan hanya sebuah dakwah atau kampanye keyakinan, melainkan juga sebuah gerakan Politik (political movememt) yang menggalang masa dan dukungan untuk mempengaruhi sebuah kebijakan politik dalam suatu negara.

Jadi, dalam konteks negara kita, ideologi-ideologi teraebut hadir sebagai gerakan Politik yang ingin mempengaruhi
Kebijakan negara dan pemerintah.

Arah dan tujuan mereka Bukan untuk kepentingan bangsa dan negara kita sendiri, tapi justru untuk kepentingan global. Soalnya, idiologi seperti ini tidak
mengenal wilayah khusus yang bernama
"Tanah Air".

Pergerakannya dipimpin dan diarahkan oleh komando global, yang di kendalikan
dari luar, dan jelas bukan dipimpin oleh Indonesia sendiri. Dan ideoligi-ideologi tersebut bisa datang dari negara-negara Barat, maupun Timur Tengah.

Lebih jauh lagi, ideologi-ideologi tersebut sebenarnya saling bertengkar satu sama lain, seperti yang kita saksikan di arab Saudi, Mesir, Irak, di Pakistan dan
Afghanistan.

Mereka saling berebut pengaruh dan kekuasaan di negerinya masing-masing. Tapi, parahnya, konflik-konflik dan Pertengkaran itu dibawa masuk ke negeri kita. Dan bahkan bisa membawa perpecahan di antara bangsa kita sendiri

Seperti yang kini terjadi dalam perebutan mesjid dan mushalla milik warga NU atau Muhammadiyah, yang marak belakangan ini. Kelompok-kelompok Islam trans-nasional ini tampaknya tidak punya agenda untuk membangun mesjid atau musholla sendiri.

Tapi justru merebut mesjid atau mushalla milik NU atau Muhammadiyah yang tradisinya mengikuti cara dan kultur bangsa kita.

Demikian pula isu khilafah dan syariat Islam ini yang mengarahkan umat dan bangsa ini kepada pilihan "beriman" atau "tidak beriman".

Itulah sebabnya kelompok-kelompok tran-nasional ini sering membenturkan dirinya dengan nasionalisme dan akar kebangsaan kita yang majemuk.

Mereka tidak suka dengan yang namanya akar kebangsaan atau nasionalisme ini, karena memang mereka tidak berakar dalam basis domestik bangsa dan negara kita.

Dengan kata lain, mereka tidak mengenal Tanah Air bersama yang dipertahankan dan dibela mati-matian seperti ketika para pendiri bangsa ini mendirikan negara ini dengan basia dan kekuatan domeatik.

Pengalaman di atas menunjukan bahwa ideologi-ideologi trans-nasional tidaklah mengusung kepentingan Indonesia. Tapi malah menjadikan Indonesia sebagai korban dari gerakan-gerakan dan ideologi internasional tersebut.
Wallohu A'lam...

Penulis: Yai Ahmad Baso, beliau adalah anggota Nahdlatul ulama, Penulis buku dan dosen di salahsatu perguruan tinggi.

0 komentar

Post a Comment