INGAT 17 AGUSTUS, HARUS INGAT JUGA KIAI ULAMA SAKTI BAMBU RUNCING INI... JUGA GURUNYA JENDRAL BESAR SUDIRMAN...
Almaghfurlah KH. SUBECHI PARAKAN (+1955-1959)
Kiai Haji Subchi – sering juga ditulis Subeki atau Subuki – adalah pengasuh Pesantren Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Kiai sosialis ini dikenal sebagai “kiai bambu runcing” tempat ribuan pejuang kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 menimba ilmu, doa-doa dan jampi-jampi untuk senjata mereka sebelum terjun ke medan laga.
Kiai Subchi lahir di Parakan Kauman, Temanggung, sekitar tahun 1850. Berdasarkan penuturan KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya, Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974), waktu bertemu dengan Kiai Subchi di tahun 1945, usia Kiai Bambu Runcing ini sudah menginjak angka 90-an. Sementara dalam penuturan KH. Muhaiminan Gunardo Parakan, Kiai Subchi wafat pada tahun 1959 dalam usia kurang lebih 109 tahun. Berarti tahun kelahiran beliau diperkirakan 1850.
Kiai Subchi adalah putra sulung KH. Harun Rasyid, seorang penghulu mesjid di desanya, dengan nama kecil Muhammad Benjing. Setelah berumah tangga beliau berganti nama menjadi Somowardojo. Setelah naik haji beliau berganti nama lagi untuk kedua kalinya menjadi Subchi. Ketika masih bayi dalam gendongan ibunya sekitar tahun 1855 beliau dibawa mengungsi dari kejaran tentara Belanda dari satu desa ke desa lainnya.
Maklum, waktu itu kakeknya, Kiai Abdul Wahab, putra Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta, adalah salah seorang anggota pasukan Pangeran Diponegoro yang ikut dalam Perang Jawa (1825-1830)
Sebelum berangkat ke medan laga, berdasarkan fatwa KH. Subchi dan keputusan musyawarah pengurus NU, tiap malam diadakan mujahadah di kalangan para anggota laskar dan para kiai di Langgar Wali, Kauman, Parakan. Siang harinya mereka puasa mutih dan malamnya shalat hajat, shalat tahajjud, membaca wirid-wirid, termasuk Hizbun Nasr, dan Hizbul Bahri, serta bacaan Shalawat Nariyah sebanyak 4.444 kali dengan berjamaah serta membaca Shalawat Munjiyat sebanyak seribu kali.
Dalam pelaksanaan mujahadah itu Kiai Subchi bertindak selaku penasehat utama. Bersama Kiai Sumomihardho dan beberapa kiai sepuh, beliau diminta memimpin prosesi penyepuhan senjata bambu runcing yang dibawa para pejuang. Penyepuhan dilakukan dengan membasuh senjata tersebut dengan air suci lalu memberinya doa-doa, mantra atau wirid tertentu agar bertuah dan efektif untuk membela diri maupun untuk menyerang musuh. Biasanya selama proses mengisi benda tersebut pelaku menjalankan puasa dan menghafal doa-doa disertai latihan pengisian tenaga dalam.
Setelah benda yang diisi dengan energi spiritual melalui doa dan wirid tersebut dianggap sudah memadai, maka perlu dicek kekuatannya dengan mengguna-kan tenaga dalam. Prosesi penyepuhan itu disebut juga menyuwuk, dari kata suwuk, yakni memberkahi dan memberi doa-doa di bagian ujung bambu runcing.
Dari sinilah kemudian kisah awal mengapa Kiai Subchi identik dengan Kiai Bambu Runcing.
Bambu runcing memang pernah dipakai dalam latihan ketentaraan Seinendan pada zaman pendudukan tentara Jepang. Tetapi khusus penggunaan senjata rakyat itu dengan doa, wirid dan pengisian energi spiritual atau tenaga dalam, memang baru dimulai di Parakan, Temanggung. Dan nama Kiai Subchi-lah yang pertama muncul ketika disebut senjata ini untuk tujuan perjuangan kemerdekaan melawan penjajah bangsa asing.
Setelah itu ada kabar beredar di Temanggung bahwa Kiai Hasyim Asy’ari akan berkunjung ke Parakan untuk memberikan wejangan kepada BMT. Kemudian pengurus BMT serta para ulama segera mengadakan musyawarah. Hasilnya, mereka sepakat jangan sampai pendiri NU itu yang datang ke Parakan, tapi para kiai Parakan yang harus sowan kepada beliau di Tebuireng, Jombang. Maka berangkatlah KH. Subchi, KH. Nawawi, KH. Ali, serta KH. Syahid Baidowi.
Setelah bertemu dengan pengasuh Pesantren Tebuireng ini, mereka diminta untuk menyepuh bambu runcing yang dilakukan dengan tata cara seperti di Parakan. Dan Kiai Subchi pun diminta memimpin penyepuhan itu. Sejak saat itu nama Kiai Subchi yang identik dengan bambu runcing mulai tersohor di Jawa Timur.
Usai kunjungan para kiai Parakan ke Jombang di akhir bulan November 1945, tidak berapa lama kemudian berdatangan rombongan pemuda pejuang Laskar Hizbullah Jombang ke Parakan memakai pakaian serba hitam, termasuk peci hitam. Datang pula komandan Laskar Hizbullah wilayah Banyumas dan Kedu, KH. Saifudin Zuhri, bersama Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah sejak 13 Oktober 1945. Lalu datang juga KH. Wahid Hasyim yang diantar KH. Saifudin Zuhri bersama KH. Masjkur (pimpinan pusat Laskar Sabilillah sebelum diangkat sebagai Menteri Agama di tahun 1947), KH. Zainul Arifin (komandan tertinggi Laskar Hizbullah), Mr. Kasman Singodimejo (tokoh Masyumi dan komandan Laskar Hizbullah, waktu itu menjabat Jaksa Agung), dan juga Anwar Tjokroaminoto (wartawan dan putra H.O.S. Cokroaminoto).
Tujuan utama para tamu ini adalah bertemu dengan Kiai Subchi untuk meminta doa dan barakah beliau, termasuk meminta perkenan beliau untuk “menyuwuk” para anggota laskar rakyat yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Mendengar permintaan tersebut, beliau menangis tersedu-sedu sambil berujar, “Mengapa mesti saya? Kenapa kalian tidak datang saja kepada KH. Siradj Payaman dan KH. Dalhar Watucongol [dua ulama Magelang yang sama-sama wafat pada tahun 1959], karena keduanya adalah ulamanya Gusti Allah (Kenging menopo panjenengan kok mboten sowan lan nyuwun dating KH. Siradj Payaman utawi sowan KH. Dalhar Watucongol; panjenenganipun kekalih meniko ulama'ipun Gusti Allah).”
Namun, tampaknya beliau tidak bisa menghindar. Menjelang pertempuran Ambarawa di bulan Desember 1945, Panglima Divisi V Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kolonel Sudirman –sebelum menjadi Panglima Besar setahun kemudian – juga sempat singgah dari markasnya di Purwokerto ke markas BMT di Parakan dalam perjalanan menuju perang Ambarawa.
Beliau sempat sowan dan minta barakah kepada Kiai Subchi. Kiai Saifudin Zuhri maupun Kiai Muhaiminan Gunardo menyebut kedatangan Kolonel Soedirman beserta pasukannya membawa peralatan tempur lengkap. Itu terjadi setelah bawahan beliau, Letnan Kolonel Isdiman, selaku komandan pasukan TKR dalam pertempuran Ambarawa gugur diserang Sekutu pada tanggal 26 November 1945.
Komando pertempuran Ambarawa lalu diambilalih oleh tentara kader PETA ini. Mungkin karena keberkahan kiai Parakan ini, konon dalam cerita masyarakat, Jenderal Sudirman setiap kali akan terjun ke medan laga, terlebih dahulu mencari sumur warga untuk mengambil air wudhu.
Di masa-masa awal revolusi kemerdekaan Indonesia setiap hari ada ribuan pejuang mampir ke Parakan dalam perjalanan mereka ke front-front pertempuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan ada yang datang dari Jawa Barat. Di antaranya Pasukan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, dan Laskar Pesindo di bawah pimpinan Krissubanu.
Dalam buku otobiografinya, Hidup tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (2008), Ajip Rosidi pernah menulis pengalaman keluarganya di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, yang berjuang bersama laskar rakyat dan ikut berangkat ke Parakan naik kereta api.
Peran Kiai Subchi seperti ini kemudian menjadi incaran tentara Belanda. Dalam agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda pada Desember 1948, mereka memasuki kota Parakan dan menggebrak rumah beliau. Kiai Subchi sempat menyelamatkan diri dan mengungsi keluar kota bersama beberapa kiai. Namun putra beliau, Kiai Abdurrahman, gugur tertembak setelah melakukan perlawanan. Ia merupakan syuhada pertama sejak Gerakan Bambu Runcing dari Kauman Parakan digelar.
Presiden Sukarno kemudian menganugerahi-nya gelar pahlawan perintis kemerdekaan.
Kiai Subchi wafat pada hari Kamis tanggal 6 April 1959 (7 Syawal 1379 H) dalam usia kurang lebih 109 tahun dan dimakamkan di pemakaman Sekuncen, Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Parakan, Temanggung. Senjata bambu runcing dan foto beliau dipajang di Museum Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta. Alfaatihah...
Sumber: Yai Ahmad Baso
Kiai Haji Subchi – sering juga ditulis Subeki atau Subuki – adalah pengasuh Pesantren Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Kiai sosialis ini dikenal sebagai “kiai bambu runcing” tempat ribuan pejuang kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 menimba ilmu, doa-doa dan jampi-jampi untuk senjata mereka sebelum terjun ke medan laga.
Kiai Subchi lahir di Parakan Kauman, Temanggung, sekitar tahun 1850. Berdasarkan penuturan KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya, Guruku Orang-orang dari Pesantren (1974), waktu bertemu dengan Kiai Subchi di tahun 1945, usia Kiai Bambu Runcing ini sudah menginjak angka 90-an. Sementara dalam penuturan KH. Muhaiminan Gunardo Parakan, Kiai Subchi wafat pada tahun 1959 dalam usia kurang lebih 109 tahun. Berarti tahun kelahiran beliau diperkirakan 1850.
Kiai Subchi adalah putra sulung KH. Harun Rasyid, seorang penghulu mesjid di desanya, dengan nama kecil Muhammad Benjing. Setelah berumah tangga beliau berganti nama menjadi Somowardojo. Setelah naik haji beliau berganti nama lagi untuk kedua kalinya menjadi Subchi. Ketika masih bayi dalam gendongan ibunya sekitar tahun 1855 beliau dibawa mengungsi dari kejaran tentara Belanda dari satu desa ke desa lainnya.
Maklum, waktu itu kakeknya, Kiai Abdul Wahab, putra Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta, adalah salah seorang anggota pasukan Pangeran Diponegoro yang ikut dalam Perang Jawa (1825-1830)
Sebelum berangkat ke medan laga, berdasarkan fatwa KH. Subchi dan keputusan musyawarah pengurus NU, tiap malam diadakan mujahadah di kalangan para anggota laskar dan para kiai di Langgar Wali, Kauman, Parakan. Siang harinya mereka puasa mutih dan malamnya shalat hajat, shalat tahajjud, membaca wirid-wirid, termasuk Hizbun Nasr, dan Hizbul Bahri, serta bacaan Shalawat Nariyah sebanyak 4.444 kali dengan berjamaah serta membaca Shalawat Munjiyat sebanyak seribu kali.
Dalam pelaksanaan mujahadah itu Kiai Subchi bertindak selaku penasehat utama. Bersama Kiai Sumomihardho dan beberapa kiai sepuh, beliau diminta memimpin prosesi penyepuhan senjata bambu runcing yang dibawa para pejuang. Penyepuhan dilakukan dengan membasuh senjata tersebut dengan air suci lalu memberinya doa-doa, mantra atau wirid tertentu agar bertuah dan efektif untuk membela diri maupun untuk menyerang musuh. Biasanya selama proses mengisi benda tersebut pelaku menjalankan puasa dan menghafal doa-doa disertai latihan pengisian tenaga dalam.
Setelah benda yang diisi dengan energi spiritual melalui doa dan wirid tersebut dianggap sudah memadai, maka perlu dicek kekuatannya dengan mengguna-kan tenaga dalam. Prosesi penyepuhan itu disebut juga menyuwuk, dari kata suwuk, yakni memberkahi dan memberi doa-doa di bagian ujung bambu runcing.
Dari sinilah kemudian kisah awal mengapa Kiai Subchi identik dengan Kiai Bambu Runcing.
Bambu runcing memang pernah dipakai dalam latihan ketentaraan Seinendan pada zaman pendudukan tentara Jepang. Tetapi khusus penggunaan senjata rakyat itu dengan doa, wirid dan pengisian energi spiritual atau tenaga dalam, memang baru dimulai di Parakan, Temanggung. Dan nama Kiai Subchi-lah yang pertama muncul ketika disebut senjata ini untuk tujuan perjuangan kemerdekaan melawan penjajah bangsa asing.
Setelah itu ada kabar beredar di Temanggung bahwa Kiai Hasyim Asy’ari akan berkunjung ke Parakan untuk memberikan wejangan kepada BMT. Kemudian pengurus BMT serta para ulama segera mengadakan musyawarah. Hasilnya, mereka sepakat jangan sampai pendiri NU itu yang datang ke Parakan, tapi para kiai Parakan yang harus sowan kepada beliau di Tebuireng, Jombang. Maka berangkatlah KH. Subchi, KH. Nawawi, KH. Ali, serta KH. Syahid Baidowi.
Setelah bertemu dengan pengasuh Pesantren Tebuireng ini, mereka diminta untuk menyepuh bambu runcing yang dilakukan dengan tata cara seperti di Parakan. Dan Kiai Subchi pun diminta memimpin penyepuhan itu. Sejak saat itu nama Kiai Subchi yang identik dengan bambu runcing mulai tersohor di Jawa Timur.
Usai kunjungan para kiai Parakan ke Jombang di akhir bulan November 1945, tidak berapa lama kemudian berdatangan rombongan pemuda pejuang Laskar Hizbullah Jombang ke Parakan memakai pakaian serba hitam, termasuk peci hitam. Datang pula komandan Laskar Hizbullah wilayah Banyumas dan Kedu, KH. Saifudin Zuhri, bersama Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah sejak 13 Oktober 1945. Lalu datang juga KH. Wahid Hasyim yang diantar KH. Saifudin Zuhri bersama KH. Masjkur (pimpinan pusat Laskar Sabilillah sebelum diangkat sebagai Menteri Agama di tahun 1947), KH. Zainul Arifin (komandan tertinggi Laskar Hizbullah), Mr. Kasman Singodimejo (tokoh Masyumi dan komandan Laskar Hizbullah, waktu itu menjabat Jaksa Agung), dan juga Anwar Tjokroaminoto (wartawan dan putra H.O.S. Cokroaminoto).
Tujuan utama para tamu ini adalah bertemu dengan Kiai Subchi untuk meminta doa dan barakah beliau, termasuk meminta perkenan beliau untuk “menyuwuk” para anggota laskar rakyat yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air. Mendengar permintaan tersebut, beliau menangis tersedu-sedu sambil berujar, “Mengapa mesti saya? Kenapa kalian tidak datang saja kepada KH. Siradj Payaman dan KH. Dalhar Watucongol [dua ulama Magelang yang sama-sama wafat pada tahun 1959], karena keduanya adalah ulamanya Gusti Allah (Kenging menopo panjenengan kok mboten sowan lan nyuwun dating KH. Siradj Payaman utawi sowan KH. Dalhar Watucongol; panjenenganipun kekalih meniko ulama'ipun Gusti Allah).”
Namun, tampaknya beliau tidak bisa menghindar. Menjelang pertempuran Ambarawa di bulan Desember 1945, Panglima Divisi V Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kolonel Sudirman –sebelum menjadi Panglima Besar setahun kemudian – juga sempat singgah dari markasnya di Purwokerto ke markas BMT di Parakan dalam perjalanan menuju perang Ambarawa.
Beliau sempat sowan dan minta barakah kepada Kiai Subchi. Kiai Saifudin Zuhri maupun Kiai Muhaiminan Gunardo menyebut kedatangan Kolonel Soedirman beserta pasukannya membawa peralatan tempur lengkap. Itu terjadi setelah bawahan beliau, Letnan Kolonel Isdiman, selaku komandan pasukan TKR dalam pertempuran Ambarawa gugur diserang Sekutu pada tanggal 26 November 1945.
Komando pertempuran Ambarawa lalu diambilalih oleh tentara kader PETA ini. Mungkin karena keberkahan kiai Parakan ini, konon dalam cerita masyarakat, Jenderal Sudirman setiap kali akan terjun ke medan laga, terlebih dahulu mencari sumur warga untuk mengambil air wudhu.
Di masa-masa awal revolusi kemerdekaan Indonesia setiap hari ada ribuan pejuang mampir ke Parakan dalam perjalanan mereka ke front-front pertempuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan ada yang datang dari Jawa Barat. Di antaranya Pasukan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo, Barisan Banteng di bawah pimpinan dr. Muwardi, Lasykar Rakyat dibawah pimpinan Ir. Sakirman, dan Laskar Pesindo di bawah pimpinan Krissubanu.
Dalam buku otobiografinya, Hidup tanpa Ijazah: Yang Terekam dalam Kenangan (2008), Ajip Rosidi pernah menulis pengalaman keluarganya di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, yang berjuang bersama laskar rakyat dan ikut berangkat ke Parakan naik kereta api.
Peran Kiai Subchi seperti ini kemudian menjadi incaran tentara Belanda. Dalam agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda pada Desember 1948, mereka memasuki kota Parakan dan menggebrak rumah beliau. Kiai Subchi sempat menyelamatkan diri dan mengungsi keluar kota bersama beberapa kiai. Namun putra beliau, Kiai Abdurrahman, gugur tertembak setelah melakukan perlawanan. Ia merupakan syuhada pertama sejak Gerakan Bambu Runcing dari Kauman Parakan digelar.
Presiden Sukarno kemudian menganugerahi-nya gelar pahlawan perintis kemerdekaan.
Kiai Subchi wafat pada hari Kamis tanggal 6 April 1959 (7 Syawal 1379 H) dalam usia kurang lebih 109 tahun dan dimakamkan di pemakaman Sekuncen, Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Namanya diabadikan sebagai nama jalan di Parakan, Temanggung. Senjata bambu runcing dan foto beliau dipajang di Museum Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta. Alfaatihah...
Sumber: Yai Ahmad Baso
0 komentar
Post a Comment