Saturday, October 15

Kisah Mbah Hasyim Mengantar santrinya ke Kajen

Oleh: Ulil Abshar Abdalla

Siapa sih yang tak kenal Hadratus syaikh Mbah Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur, pendiri Nu, dan "sumber" Ilmu dari sejumlah kiyai besar di jawa itu?

Sudah pasti ada banyak kisah tentang kiyai besar ini. Sebagian besar kisah tentang beliau sudah pasti pernah dituturkan, baik oleh para muridnya atau oleh orang lain yang pernah mengenal sosoak beliau ini.


Tetapi akan selalu ada "little narattive" kisah-kisah kecil tentang Mbah Hasyim yang masih tersembunyi dibalik memori para muridnya dan belum dan belum diketahui oleh orang banyak.

"Little narative" tentang Mbah Hasyim itu saya jumpai saat lebaran tahun ini, saat sya "sowan" ke rumah kiyai Muadz Tohir, guru yang mengajari saya bahasa Inggris di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, dulu.

Kiyai Muadz adalah putra Kiyai Thohir bin Nawawi, Kajen. Saat saya berkunjung kerumahnya saat lebaran tahun ini, Kiyai Muadz menuturkan sebuah "little narrative" tentang Mbah Hasyim yang saya yakin belum banyak diketahui oleh orang. Kisah yang sangat menarik.

Beginilah kisahnya.

Kiyai Thohir, ayahanda dari kiyai Muadz, dulu pernah nyantri di Tebuireng, di bawah asuhan Mbah Hasyim. Dengan kata lain, kiyai Thohir adalah santrinya Mbah Hasyim. Beberpa tahun nyanti, Thohir muda belum banyak mengalami perkembangan. Dia tak terlalu pintar menyerap pelajaran dari Mbah Hasyim. Istilah pesantren, "dhedhel" (not so smart).

Suatu hari Mbah Hasyim ada hajat untuk menghadiri undangan dari kiyai Romli di peterongan Jombang. Lalu, Mbah Hasyim memanggil santri yang tak terlalu pintar bernama thohir itu. Mbah Hasyim memintanya untuk menggantikannya beliau mengajar kitab Bulughul Maram ( Kitab kumpulan hadits yang sangat populer di seluruh dunia ).

Tentu saja Thohir muda kaget bukan main dan sekaligus panik. Dia merasa sebagai santri yang bodoh. Dia bahkan merasa belum mampu baca kutab berbahasa arab. Tetapi dia, tentu saja, tak mungkin menolak perintah guru. Akhirnya, dengan keringat dingin yang bercucuran, Thohir muda memaksakan diri mengajar kitab Bulughul Maram. Yang membuat Thohir muda kaget, ternyata Mbah Hasyim tidak "tindakan" (pergi) mendatangi undangan, malah ikut menunggui dia belajar.

Di luar dugaan, Thohir muda, dengan di tunggui Mbah Hasyim, mampu mengajarkan kitab itu dengan lancar. Tentu dia sendiri kaget. Setelah itu, Mbah Hasyim meminta santri Thohir untuk mengajarkan kitab Bhulugul Maram.

Kocap carita, singkat cerita, Thohir muda menjadi salah satu murid kesayangan Mbah Hasyim

Saat boyongan ke Kajen, Mbah Hasyim ikut mengantar kiyai Thohir sampai ke rumahnya. Mbah Hasyim, saat itu ingin "iras-irus" (sekalian) bertemu dengan Mbah Salam, kakak dari Mbah Nawawi. Mabah nawawi adalah ayahandanya kiyai Thohir. Sementara Mbah salam adalah ayahanda dari Mbah Abdullah Salam, kiyai yang sangat dihormati dan dikenal sebagai wali di Jawa Tengah.

Mbah Hasyim tidak sekedar mengantarkan kiyai Thohir sampai ke rumahnya di Kajen. Tetapi juga memberikan "suvenir" atau kenang-kenagan berupa tiga kitab hadits besar-besar. Tiga kitab itu ialah Sahih Bukhari, Syarah Qasthallani (salah satu komentar [syarah] yang terkenal atas Shahih Bukhari) dan Muwatta' (kumpulan hadits karya Imam Malik, pendiri Mazhab Maliki).

Ketiga kitab ini dihadiahkan oleh Mbah Hasyim kepada santrinya yang baru boyongan itu sebagai semacam apresiasi intelektual atas kemampuan Thohir muda. Mbah Hasyim tidak sekedar menghadiahkan tiga kitab itu, tetapi juga membubuhkan autograf atau tanda tangan disertai sebuah ucapan.

Mendengar kisah kiyai Muadz ini, saya langsung menyergah, "Boleh saya melihat tiga kitab itu, pak Muadz? Saya ingin sekali melihat tulisan tangan dan tanda tangan Mbah Hasyim. " Sayang sekali kitab itu tidak disimpan di rumah kiyai Muadz. Melainkan di rumah kakaknya, almarhum. Kiyai Muzamil. Dalam hati saya berkata: Suatu saat saya pasti akan mendatangi putera kiyai Muzamil dan melihat sendiri "suvenir" yang dihadiahkan oleh Mbah Hasyim itu.

Ada kisah lain yang dituturkan oleh kiai Muadz tentang kunjungan Mbah Hasyim ke Kajen itu. Seperti saya tuturkan sebelumnya, selain ingin mengantar santrinya boyongan ke dusunnya, Mbah Hasyim "karonto-ronto" (bersusah-susah payah) datang ke Kajen juga untuk bertemu dengan Mbah Salam, paman dari kiyai Thohir.

Usai sowan ke Mbah Salam, dalam perjalanan pulang ke rumah Kiyai Thohir, Mbah Hasyim menangis "sesegukan". Mbah Nawawi, ayahanda Kiyai Thohir, yang menemani Mbah Hasyim sowan ke "ndalem" (rumah; Mbah Salam, bertanya:

"Kenapa njenengan menangis, Yai?"

Jawab Mbah Hasyim: Ada satu hal yang tak pernah berhasil saya lakukan tetapi dikerjakan Mbah Salam. Aku iri.

"Apa itu, Yai?" tanya Mbah Nawawi.

"Mbah Salam masih sempat mengajar anak-anak kecil. Padahal beliau itu kiyai besar. Sementara saya yang ilmunya tak seperti Mbah Salam tak sempat mengajar anak-anak."

Saat sowan ke rumah Mbah Salam, Mbah Hasyim memang melihat beliau mengajar anak-anak kecil. "Mu'allim al-sibyan," mengutip kata-kata Kiyai Muadz.

Saat mebgisahkan kisah ini kepada saya Kiyai Muadz menambahkan komentar kecil yang sarat sindiran dan secara ironis bernada "self-mocking". Kata Kiyai Muadz, "sementara kita-kita ini sekarang gengsi jika mengajar anak-anak."

Mendengar komentar itu, saya tertawa getir. Dalam hati saya berbiaik, "Sekarang ini kita memang cenderung jaim!" Di ujung kisah itu, saya berteriak kepada Kiyai Muadz:

"JADI, KIYAI MUADZ, MBAH HASYIM PERNAH MENJEJAKAN KAKINYA DI RUMAH YANG NJENENGAN TINGGAL INI?"

"Ya," jawab Kiyai Muadz lirih.

Saya langsung menengok ke belakang, dan melihat foto Kiyai Thohir tergantung di kamar tamu kiyai Muadz. Dengan bergegas saya langsung minta izin pada Kiayai Muadz untuk mengabdikannya di hp saya.

Jepret... jepret..jepret..

"Ini," kata kiai Muadz, "adalah foto yang diambil saat ayah saya menjadi pegawai KUA. Tapi ayah saya tak tahan jadi pegawai. Beliau cuma bertahan selama tiga bulan saja."

Memang "trah" Kiyai Thohir adalah trah kiyai. Tak cocok menjadi pegawai negeri.

Mari kita hadiahkan Fatehah untuk Mbah Hasyim, Mbah Salam, Mbah Nawawi, kiyai Thohir dan Mbah Dullah Salam.

Al-fatehah....


0 komentar

Post a Comment