Saturday, October 15

Kisah Taubatnya Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu karena tidak ikut dalam perang Tabuk


بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam perang Tabuk, selain orang-orang udzur, ada lebih dari delapan puluh orang munafik Madindah yang tidak menyertai perang itu. Sejumlah itu pula orang-orang penghuni padang sahara yang tidak mengikuti perang itu. Mereka bukan saja tidak mengikuti perang bahkan mereka menghalang-halangi yang lainnya dengan berkata, "jangalah kalian berangkat perang pada musim panas." Allah Subhaanahu Wata'ala menjawab perkataan mereka dengan firman-Nya yang artinya: "Api neraka jahanam lebih panas lagi." (Q.S. At-Taubah:81)



Selain mereka, ada tiga orang sahabat yang tidak menyertai perang tersebut tanpa udzur yang kuat. Mereka adalah Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu, SAyyidina HIlal bin Umayyah Radhiyallahu 'anhu, dan Sayyidina Murarah bin Rabi' Radhiyallahu 'anhu. Mereka tidak mengikuti perang Tabuk bukan karena kemunafikannya, juga bukan karena suatu udzur, bahkan mereka sebenarnya dalam kelapangan hidup.

Mengenai ketidak ikut sertaannya, Sayyidina Ka'ab Radhiyallahu 'anhu menuturkan diri kisahnya secara terperinci. Kisahnya akan diceritakan dalam lembaran berikut ini. Adapun Sayyidina Murarah bin Rabi' Radhiyallahu 'anhu, ketika itu kebun miliknya akan panen besar. Ia berpikir, "jika aku pergi, semuanya akan menjadi sis-sia. Aku selalu menyertai peperangan. Jika kali ini aku tidak menertainya, kupikir tidak mengapa." Karena pertimbangan itulah ia tidak menyertainya. Namun, ketika menyadari bahwa kebun kurmanyalah yang menyebabkan ia tidak ikut ke Tabuk, Ia segera menyedekahkan seluruh kebunya itu.

Sedangkan yang menyebabkan Sayyidina Hilal bin Umayyah Radhiyallahu 'anhu tidak menyertai peperangan itu, karena ketika itu seluruh kaum kerabatnya yang merantau di berbagai tempat sedang berkumpul. Ia juga berpikiran sama dengan Sayyidina Murarah bin Rabi' Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia telah menyertai banyak peperangan sebelumnya. Jika pada kesempatan ini ia tidak menyertainya, tentu tidak mengapa. Atas dasar itulah dia tidak menyertai peperangan tersebut. Setelah sadar, ia berniat akan memutuskan hubungan dengan seluruh kaum kerabatnnya. karena hubungan dengan merekalah yang menjadikan ia tidak menyertai peperangan tersebut.

Kisah tentang Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu telah banyak ditulis dalam kitab-kitab hadits. Ia menerangkan kisahnya sendiri dengan rinci. Ia berkisah sebagai berikut.

"Belum pernah aku mendapatkan kelapangan dan kekayaan saat-saat menjelang perang Tabuk. Saat itu, aku memiliki dua ekor unta. Padahal sebelumnya, aku tidak pernah memiliki dua ekor unta sekaligus. Sudah menjadi kebiasaan Baginda Nabi Shallallahu 'alahi wasallam, jika akan berperang, beliau tidak pernah memberitahukan tujuannya, bahkan beliau menanyakan keadaan daerah lain (untuk merahasiakan tujuan yang sebenarnya sehingga tidak diketahui oleh musuh). Namun, pada perang kali ini, karena cuaca yang begitu panas dan jarak yang begitu jauh serta musuh yang jumlahnya begitu besar, maka Baginda Rasulallah Shallalahu 'alaihi wasallam mengumumkan secara terang-terangan tujuan pasukan kaum Muslimin, agar mereka bersiap-siap.

Ketika itu, banyak sekali kaum Muslimin yang akan menyertai Baginda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam, sehingga sulit menuliskan semua nama mereka dalam daftar. Mereka yang ingin menyembunyikan diri untuk tidak ikut pun, tidak mudah diketahui, karena banyaknya jumlah pasukan. Bertepatan pada masa itu kebun-kebun kurma di Madinah akan panen besar.

Setiap pagi, aku ingin mempersiapkan perlengkapan perang. Namun, sampai sore hari, keinginanku itu belum terlaksana. Terlintas dalam pikiranku, bahwa aku telah mendapatkan kelapangan, sehingga jika aku bersungguh-sungguh, kapan saja aku tentu dapat menyusul pasukan itu. Akhirnya, ketika Baginda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam berangkat kemedan perang beserta kaum Muslimin, aku masih belum membuat persiapan. Lagi-lagi terpikir olehku bahwa dengan satu dua hari persiapan, aku tentu dapat menyusul. Seperti itulah aku menunda-nunda hingga diperkirakan Baginda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam telah tiba di tempat tujuan. Saat itu aku, aku telah berusaha, namun ternyata perlengkapan belum siap juga. Ketika kuperhatikan keadaan sekeliling Madinah Thayyibah, ternyata yang kulihat hanyalah orang-orang yang sudah dikenal kemunafikannya dan orang-orang udzur.

Setelah Baginda Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam beserta rombongan tiba di Tabuk, beliau bertanya, 'Mengapa Ka'ab bin Malik tidak kelihatan?' Seoreng sahabat menjawab, 'Ya Rasulallah, harta dan kesejahteraannya telah memikat dirinya.' Sayyidina Mu'adz Radhiyallahu 'anhu menyahut, 'itu tidak benar! Selama ini, kita mengenal Ka'ab seorang yang baik.' Namun, Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam diam saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Beberapa hari kemudian, kudengar berita kepulangan Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Aku langsung merasa takut dan cemas. Terlintas di dalam hati untuk memberi alasan bohong, semata-mata untuk menghindari kemarahan Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Dapat saja aku berbohong, lalu dikemudian hari aku akan meminta kepada beliau untuk memohon ampunankan ampunan kepada Allah Subhaanahu wata'ala untukku. Aku pun bermusyawarah dengan setiap keluarga yang berpengalaman. Tetapi setelah mendengar Baginda Nabi Shallallahu 'alahi wasallam benar-benar telah tiba, maka keputusan hatiku adalah, tanpa kejujuran aku tidak akan selamat. Aku pun bertekad akan berkata jujur.

Telah menjadi kebiasaan mulia Baginda Nabi Shallallahu 'alahi wasallam, setiap kembali dari perjalanan, mula-mula Beliau akan masuk Masjid, lalu shalat Tahiyyatul Masjid dua raka'at, dan duduk sejenak memberi kesempatan kepada orang-orang yang ingin bertemu. Begitu Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam duduk, maka kaum munafik langsung mendatangi Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan mengemukakan berbagai alasan serta sumpah palsu mereka. Secara lahir, Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menerima alasan mereka, namun secara batin, beliau menyerahkan kepada Allah Subhaanahu wata'ala. Kemudian tibalah giliranku, aku mendekati beliau dan memberi salam kepada beliau. Sambil berpaling, beliau ter-senyum hambar tanda kemarahan. Aku berkata, 'Ya Rasulallah, engkau berpaling dariku, aku bersumpah, aku bukan munafik dan tidak ada keraguan sedikit pun dalam keimananku.' Beliau bersabda, 'Kemarilah' aku pun mendekatinya.

Beliau berkata, 'apa yang menghalangi kamu? Bukankah kamu sudah membeli unta-unta?' Jawabku, 'Ya Rasulallah, jika saat ini aku mendatangi ahli-ahli dunia, aku yakin aku akan membuat alasan-alasan bohong yang masuk akal agar aku terhindar dari kemarahannya, karena Allah Subhaanahu wata'ala telah memberiku karunia kepandaian bicara. Namun, yang aku hadapi sekarang adalah Tuan. Aku paham, jika aku berbohong, walau tuan menjadi rela kepadaku, namun sebentar lagi Allah Subhaanahu wata'ala pasti akan memurkai-ku. Sebaliknya jika aku jujur sekarang, Tuan mungkin akan memarahiku, tetapi tidak lama kemudian, Allah yang maha suci akan menghilangkan kemarahan Tuan. Untuk itu, aku dalam keadaan bebas dan lapang yang tidak pernah kualami sebelumnya. Beliau bersabda, 'Dia berkata jujur.' Kemudian beliau bersabda, 'berdirilah, nanti Allah Subhaanahu wata'ala sendiri yang akan memutuskan masalahmu.'

Aku pun pergi meninggalkan Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan banyak orang dari kaumku memarahiku, 'Bukankah engkau Belum pernah berbuat dosa sedikit pun sebelum-nya? Jika engkau meminta Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memohonkan ampunan bagimu, tentu itu telah cukup bagimu.' Aku bertanya kepada mereka, 'Adakah orang lain yang diperlakukan seperti aku?' Mereka memberitahu kepada-ku, bahwa selain diriku ada dua orang lagi yang berbicara kepada Baginda Nabi Shallallahu 'alahi wasallam sepertiku dan mendapatkan jawaban yang sama. Mereka adalah Hilal bin Umayyah Radhiyallahu 'anhu dan Murarah bin Rabi' Radhiyallahu 'anhu. Aku tahu, Kedua orang itu orang shalih yang telah ikut perang badar, keadaan Mereka serupa denganku (dan sikap mereka yang jujur kepada Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam adalah teladan bagiku). Kemudian Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melarang orang-orang untuk berbicara dengan kami bertiga.'

Sudah menjadi kaidah, bahwa kemarahan kepada seseorang akan timbul karena adanya hubungan hati dengannya. Suatu peringatan hanyalah bagi mereka yang dapat menerimanya. Sedangkan orang yang tidak layak untuk diperbaiki, maka siapakah yang mau memberi peringatan kepadanya?

Sayyidina Ka'ab Radhiyallahu 'anhu selanjutnya berkata, "Akibat larangan Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, orang-orang tidak mau bicara dengan kami dan mulai menjauhi kami. Bagi kami, dunia seakan-akan berubah, sehingga kami bumi yang luas ini menjadi sempit. Semua orang menjadi asing bagi kami dan yang paling mengganggu pikiranku adalah, aku khawatir jika aku meninggal dunia saat itu, apakah jenazahku akan dishalatkan oleh Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam atau tidak? Yang lebih aku takutkan lagi, jika Baginda Rasulallah Shallallahu 'alaihi wasallam lebih dahulu wafat, aku akan selamanya dalam keadaan seperti ini, tanpa seorang pun berbicara denganku, dan tak seorang pun yang berani menyalatkan jenazahku. Siapakah yang berani menentang perintah Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam?'

Demikianlah keadaan kami selama lima puluh hari. Sejak awal dua orang kawanku hanya berdiam didalam rumah. Sedangkan aku yang paling tegar di antara mereka. Aku masih berjalan ke pasar, dan ikut berjamaah di masjid. Namun, tak seorang pun yang berani berbicara denganku. Aku sering hadir di majlis Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan mengucapkan salam sambil penuh harap ada jawaban yang keluar dari bibir beliau yang mulia.

Suatu Ketika, Setelah shalat berjamaah, aku berdiri shalat sunnah di dekat Beliau. Aku melirik apakah beliau melihatku atau tidak. Ternyata, ketika aku sibuk dengan shalatku, beliau memandangku, tetapi ketika aku memandang beliau, beliau memalingkan wajah.

Keadaan seperti ini terus berlangsung. Tidak bicaranya orang-orang Islam menjadi termat berat bagiku, maka aku memanjat pagar rumah sepupuku, yang sangat akrab denganku, Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu. Aku mengucapkan salam, tetapi ia tidak membalas salamku. Aku bersumpah di hadapannya, lalu bertanya, 'Bukankah engkau tahu bahwa aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?' Ia tidak menjawab pertanyaanku. Aku kembali bersumpah dan bertanya kepadanya. Namun, ia tetap tidak menjawab pertanyaanku. Ketika aku ulangi ketiga kalinya dengan bersumpah, ia menjawab, 'Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.' Mendengar jawaban itu, aku langsung menangis. Lalu, aku meninggalkan tempat itu.

Suatu saat,aku sedang berjalan di pasar Madinah. Kulihat seorang Qibti (Mesir) Nasrani datang dari Syam ke Madinah untuk berdagang. Aku mendengar ia berkata, 'Tolong tunjukan rumah Ka'ab bin Malik!' Orang-iran pun menunjuk ke arahku. Kemudian ia mendatangiku dan memberi sepucuk surat dari raja kafir yang memerintah di Negeri Ghassan. Tertulis di dalamnya: Kami telah mengetahui bahwa saat ini Anda sedang dizhalimi oleh pemimpin Anda. Allah tidak akan membiarkan anda dalam kehinaan dan menyia-nyiakan anda. Maka datanglah kepada kami, kami akan menolong anda.'"(Sudah menjadi kebiasaan di dunia ini, jika seorang bawahan menerima peringatan dari pimpinannya, maka orang-orang yang ingin menyesatkan akan lebih memanasi dirinya, berpura-pura menasihati mereka, dan akan lebih membakar dengan kata-kata seperti itu).

Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata, "setelah membaca surat tersebut, aku langsung mengucapkan 'Innaa lillahi wa Innaa ilaihi raaji'uun!' Sampai Seperti itukah keadaanku, sehingga orang-orang kafir pun menginginkan diriku dan berusaha menginginkan aku keluar dari Islam. Ini satu musibah lagi bagiku. Kuambil surat tersebut, lalu kucampakan ke dalam tungku api. Kemudian aku mengunjungi Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Ya Rasulallah, karena engkau berpaling, orang-orang kafir pun menghendaki diriku agar memasuki agama mereka.'

Demikianlah keadaan yang menimpaku selama empat puluh hari. Hingga suatu saat, datanglah utusan Baginda Rasulallah Shallallahu 'alaihi wasallam yang memerintahkan kami agar berpisah dengan istri-istri kami. Aku bertanya, 'Apakah maksudnya aku harus mencerainya?' Jawabnya, 'Bukan, tetapi sekedar berpisah untuk sementara.' Utusan itu mendatangi kedua temanku untuk menyampaikan yang sama. Aku berkata kepada istriku, 'Pulanglah ke rumah keluargamu dan tinggalah di sana selama Allah Subhaanahu wata'ala belum memutuskan masalah ini!' Sedangkan istri Sayyidina Hilal bin Umayyah Radhiyallahu 'anhu menemui Baginda Rasulallah Shallallahu 'alaihi wasallam dan menyampaikan, Hilal sudah sangat tua. Jika tidak ada yang mengurusnya, hal itu membuatnya celaka. Jika engkau mengizinkan dan tidak merasa keberatan, aku ingin merawatnya.' Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasalam menyahut, 'Kamu boleh merawatnya, asalkan tidak berhubungan badan dengannya.' Istrinya menjawab, 'Ya Rasulallah, ia sudah tidak memiliki keinginan lagi semenjak peristiwa ini menimpanya. Ia menghabiskan waktunya dengan menangis sampai sekarang."

Sayyidina Ka'ab Radhiyyallahu 'anhu melanjutkan kisahnya, "Ada yang mengusulkan kepadaku agar aku juga berbuat seperti hilal, yaitu meminta kepada Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam agar istriku merawatku. Mungkin aku akan diizinkan untuk tinggal dengan istri. Namun, aku menjawab, 'Hilal sudah tua, sedangkan aku masih muda. Aku tidak tahu apa jawaban Baginda Rasulallah Shallallahu 'alaihi wasallam. Untuk itu, aku tidak berani meminta izin.' Keadaan tersebut berjalan selama sepuluh hari, sehingga kehidupan dengan dikucilkan seperti ini, telah berjalan selama lima puluh hari. Pada hari kelima puluh, aku shalat shubuh di atas atap rumahku. setelah itu aku duduk di tempat dengan bersedih hati. Bumi terasa sempit dan kehidupan terasa berat bagiku.

Tiba-tiba, dari bukit sala' (sebuah bukit di Madinah) terdengar suara keras, 'Hai Ka'ab, ada kabar gembira untukmu!' Demikian gembiranya aku, sehingga aku langsung sujud syukur dan menangis gembira. Aku tahu kesempitan ini sudah berakhir. Selepas shalat shubuh tadi Baginda Rasulallah Shallallahu 'alaihi wasallam mengumumkan ampunan bagi kami. Berita yang pertama kali kami dengar adalah dari orang yang membawa berita dari atas gunung itu. Kemudian datang lagi seseorang yang berkuda membawa berita yang sama. Karena begitu gembira, langsung kulepaskan pakaian yang sedang kupakai dan kuhadiahkan kepada pembawa berita tersebut. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki lagi pakaian kecuali pakaian yang kupakai itu. Lalu, aku meminjam pakaian untuk menghadap Baginda Rasulallah Shallallahu 'alaihi wasallam. Kabar gembira ini pun telah disampaikan kepada kedua temanku.

Setiba di Masjid, parasahabat Radhiyallahu 'anhum yang sedang duduk mengelilingi Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berlarian ke arahku untuk memberi selamat kepadaku. Yang Pertama kali memberi selamat ialah Thalhah bin Ubaidillah Rhadhiyallahu 'anhu. Dalam naskah Urdu ditulis Abu Thalhah, yang benar adalah Thalhah bin Ubaidillah, sebagaimana tertulis dalam sumber aslinya (dari kitab Durrul Mantsur dan Fathul Bari) Ia memeluk dan menyalamiku. Sikap itu selalu aku kenang. Kemudian kudekati tempat duduk Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan memberi salam kepadanya. Tampak wajah beliau berseri-seri dan memancarkan cahaya kegembiraan. Wajah Baginda Nabi Shallallahu 'alahi wasallam yang penuh berkah, pada saat bergembira akan bercahaya seperti bulan purnama.

Aku berkata, 'Ya Rasulallah, untuk menyempurnakan taubatku, aku ingin menyedekahkan seluruh kekayaanku dijalan Allah. Sebab, harta inilah yang telah menjerumuskanku ke dalam musibah besar.' Beliau bersabda, 'Nanti kamu akan mengalami kesulitan. Sebaiknya, sisakan sebagian harta itu untukmu.' Maka aku sedekahkan seluruh hartaku kecuali harta rampasan yang kuperoleh di Khaibar. Aku merasa bahwa kejujuranlah yang telah menyelamatkanku. Oleh sebab itu, aku berjanji akan selalu berkata jujur.'" (dari kitab Durrul Mantsur dan kitab Fathul Bari)

Faidah
Demikianlah teladan ketaatan para shahabat Radhiyallahu 'anhum, kekutan agama, dan ketakwaan mereka kepada Allah Subhaanahu wata'ala. Meskipun sebelumnya mereka selalu mengikuti berbagai peperangan, namun karena sekali saja tidak mengikutinya, mereka mendapatkan hukuman berupa pengucilan selama lima puluh hari. Walaupun demikian, mereka tetap menjalaninya dengan penuh ketaatan dan keridhaan. Harta yang menyebabkan mereka lalai, mereka sedekahkan di jalan Allah Subhaanahu wata'ala.

Peringatan Allah Subhaanahu wata'ala dan berpalingnya Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan orang-orang kafir menyangka iman mereka menjadi lemah, sehingga orang-orang kafir menghendaki agar sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu menjadi murtad. Tetapi ternyata iman mereka tetap teguh.

Kita juga orang Islam, firman Allah Subhaanahu wata'ala dan sabda Baginda Rasulallah Shallallahu 'alaihi wasallam ada di depan kita. Namun, perintah Allah Subhaanahu wata'ala yang paling besar setelah iman, yaitu shalat, berapakah di antara kita yang yang mengerjakannya? Apalagi zakat dan haji, yang memerlukan pengorbanan harta.Wallahu A'lam.

Sumber: Kitab "Fadhilah Amal, kisah-kisah Shahabat" karya Syaikhul Hadits Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi Rahmatullah 'alaih.
Penerjemah: Tim Penerjemah Kitab Fadhilah Amal Masjid jami' kebon jeruk jkt.
Penerbit: Pustaka Ramadhan Bandung

0 komentar

Post a Comment