Oleh: Sanghyang Mughni Pancaniti
Namanya Marquis de Sadde. Di lelaki tua yang berbadan tegap, wajah putih, mempesona, namun sedikit gemulai. Ia hidup sezaman dengan Napoleon Bonaparte di tahun 1794. Tatkala berumur 16 tahun, dirinya telah melakukan sebuah kebiadaban: Kemaluan seorang pelayan perempuan, telah disetubuhinya, ia tusuk dengan Salib. Darah tumpah ruah, jerit sipelayan membelah langit. Mati.
Marquis dijatuhi hukumaan, ia dipenjarakan selama 6 bulan di Vicennes. Ketika mendapat kebebasan, Marquis kembali berulah: Ia menguliti tubuh seorang pelacur menggunakan belati, dan ia menuangkan lelehan lilin di atas daging yang merah itu. Menjijikan. Akibat perbuatannya ini, Marquis tidak dimasukan ke penjara, tapi ke rumah sehat (sakit) jiwa. Carreton namanya.
Rumah sehat jiwa yang diasuh seorang pastur bernama Coulmier ini, membuat Marquis betah. Dunia yang di dambakannya hampir semua ada: perpustakaan dengan buku-buku dunia, les musik, teater, dan pelatihan melukis. Dari semua pekerjaan yang dilakukan, ada satu kegiatan yang membuat ia tergila-gila, yaitu menulis cerita seksual, yang baginya merupakan 'kebenaran sejati yang mengikat seluruh manusia'.
Dibanding penghuni lain, Coulmier begitu memanjakan Marquis. Semua yang diinginkan dan dibutuhkannya di kamar rumah sehat, selalu saja dipenuhi. Mulai dari ranjang bulu, kursi sofa, barang antik, meja, pen bilu dan kertas. Bahkan demi kesembuhan jiwanya, Coulmier mengijinkannya menulis cerita-cerita seksualnya yang begitu mesum, cabul, dan binal. Dengan satu syarat, hanya untuk konsumsi pribadi.
Marquis tentu senang dengan pelayanan yang diberikan Aang Pastir, tapi lama kelamaan, ketika tulusannya swmakin menumpuk, ia muak juga jika harus dibacanya sendiri. Ia ingin seluruh maayarakan Prancis membaca ide-idenya. Akhirnya tanpa sepengetahuan Coulmier, Marquis menyewa seorang tukang sprei berparas cantik bernama Madelline, yang sering bolak-balik kamarnya, untuk mengirimkan tulisan-tulisannya kepada penerbit.
Tidak lama kemudian, tulisan Marquis pun terbit. Menyebar keseluruh Prancis. Dibacakan di pasar-pasar, diungkapkan di gang-gang, sampau diam-diam bukunya menyelnap masuk ke Istan kerajaan. Meski dirinya seorang pembaca, ketika membaca buku Marquis yang penuh Cabul, Sang Kaisar Napoleon Bonaparte tenggelam dalam murka. Ia minta pengawalny untuk menghancurkan buku-buku Marquis, membakarnya sampai habis. Bahkan ia mengirimkan seorang Ilmuan bernam Dr Royer Collard ke rumah sehat Carreton, unyuk menghentikan ulah Marquis, kalau perlu menghukum matinya.
Kepada Coulmier, Dr. Royer Collard mengancann akan menutup rumah sehat Carreton jika ia tidak menghentikan kegiatan Marquis dalam menulis. Mendengar pengaduan itu, Coulmier bukan main marahnya. Ia merasa Marquis telah menghianatinya diam-diam. Didatangainya Marquis yang sedang menulis, membujuknya, merayunya, dan meminta dengan sangat agar Marquis tak lagi menulis.
Bagi Marquis, teman-teman sejatinya adalah tokoh-tokoh ciptaannya. Ia tidak memperdulikan permintaan Coulmier, ia tetap menuliskan semua cerita yang ada di batol kepalanya. Merasa permintaannya tidak dipenuhi, Coulmier tidak hanya menasihati Marquis, tapi kali ini ia merampas semua kertas dan pena yang biasa dipakai Marquis untuk menulis.
Baginya, tak ada penyiksaan yang lebih keji, selain kegiatan menulisnya dipaksa berhenti. Dalam ketersiksaannya ini, Marquis terus memutar otaknya, bagaimana caranya bisa menulis lagi. Sampai pada satu saat, ketika diriny disuguhi hidangan makan malam, ada ide ada ide yang terbit saat melihat daging ayam dan minuman anggur. Ia jadikan tulang ayam sebagai pena, anggur sebagai tinta, dan seprei sebagai kertas. Ia menulis lagi, ia tertawa lagi, bahagia. Saat Madellien mendatangi kamarnya, Marquis meminta agar tulisannya yang ada di sprei disalin ulang diatas kertas, lalu diberikan kepada penerbit supaya dicetak dan disebarkan.
Buku Marquis kembali tercipta, menyebar ke setiap kota dan desa. Mengetahui ini, Coulmier hanya mengusap dada, ia kebingungan dalam mencari cara agar Marquis tak lagi menulis. Tekanan dari kaisar dan Dr. Royer Collard, membuatnya terpaksa mengambil semua barang yang ada di kamar Marquis. Tanpa sisa. Kecuali hanya pakaian yang dikenakan Marquis. Tak ada kasur, tak ada kursi, tak ada meja, tak ada barang antiknya, semuanya. Hidupnya berwujud nenjadi siksa.
Seperti prinsipnya bahw "Dalam tekanan, Seniman justru berkembang", Marquis tak kehabisan cara. Demi bisa menuliskan ide-idenya, sekarang ia memotong jari-jariny. Darah yang muncrat dijadikannya tinta dan baju yang dikenakannya dia ubah menjadi kertas. Edan. Benar-benar edan.! Dia tak pernah menyerah. Dia tertawa melakukan ini semua. Kemarahan Coulmier kembali tersulut melihat perilaku Marquis. Tak ada cara lain, ia menelanjangi Marquis seperti Binatang. Memenjarakannya di ruang bawah tanah, dirantai dan diborgol. Marquis tak berdaya.
Bukan seorang Marquis jika kehabisan akal dan cara. Ada 5 sel tahanan di pinggirnya. Setiap sel ada seorang gila yang disekap. Ia meminta mereka untuk membantunya menulis. Mereka setuju. Kepada orang gila pertama Marquis membisikkan idenya, lalu orang gila pertama membisikki orang gila kedua, orang gila kedua membisikki orang gila ketiga, orang gila ketiga membisikki orang gila keempat, orang gila keempat membisikki orang gila kelima. Dan yang dibisikki orang gila kelima adalah Madelline, yang memang telah dipersiapkan Marquis untuk menuliskan bisikan orang-orang gila ini di ujung sel tempat mereka dipenjara, yang kebetulan merupakan tempat mencuci sprei. Aku terperangah pada adegan ini. Aku yakin, Marquistelah memperhitungkan caranya ini. Dia tahu, ide yang harus ditulis Madelline itu bisa saja berbeda setelah melewati otak-otak orang gila ini, pasti akan terjadi kekacauan komunikasi. Tapi kata-kata Marquis membuatku terperangah,
Apa yang dilakukan Marquis, diketahui oleh Coulmier. Lelaki yang diberi gelar ‘si bijak’ ini kehabisan cara, hampir putus asa, bagaimana membungkam Marquis agar tak lagi menulis. Atas tekanan Kaisar, dengan terpaksa ia mencabut lidah Marquis menggunakan tangannya sendiri. Sang penulis terkulai lemah, darahnya tumpah ruah melalui mulutnya, sampai habis, sampai beku, sampai tak ada lagi yang tersisa untuk dijadikan tinta. Walah.
Aku terdiam, tak sabar menunggu apa yang akan Marquis lakukan lagi. Tak ada satu benda pun yang ia miliki, menulis telah jadi musykil. Tubuhnya runtuh, suaranya sirna, darahnya mengering, tinggal menunggu mati. Di salah satu ruang Carreton, terlihat Sang Pastur yang tunduk menyesal, karena bagaimana pun Marquis adalah temannya. Berbeda dengan Sang Ilmuan yang mendamik dada, berbangga atas caranya menghentikan Marquis menulis cerita. Tapi tiba-tiba, dengan wajah gugup seorang penjaga masuk ke ruangan mereka, terbata-bata ia menceritakan apa yang dilihatnya di sel si penulis gila, “Tuan, Marquis masih mampu menulis di dinding selnya..”
Dengan apa Marquis menulis? Bukankah dia sudah tak punya apa-apa lagi selain imaji? Coulmier dan Dr. Royer Collard segera berlari ke tempat Marquis disekap, yang berada di ruang bawah tanah. Melihat ruang sel Marquis, mereka tak mengedipkan mata, tak percaya dengan apa yang dilihatnya, mereka berteriak, bahkan menangis sejadi-jadinya. Terutama sang Pastur. Bukan karena mereka melihat Marquis yang sudah tergeletak tak berdaya, tapi karena kali ini yang menjadi tinta untuk menyampaikan ide-idenya bukanlah darah, nanah, atau bisikan, tapi tahi, kotorannya sendiri sebelum mati.
Dikutip dari Novel ‘PERPUSTAKAAN KELAMIN’ Karya Sanghyang Mughni Pancaniti.
Namanya Marquis de Sadde. Di lelaki tua yang berbadan tegap, wajah putih, mempesona, namun sedikit gemulai. Ia hidup sezaman dengan Napoleon Bonaparte di tahun 1794. Tatkala berumur 16 tahun, dirinya telah melakukan sebuah kebiadaban: Kemaluan seorang pelayan perempuan, telah disetubuhinya, ia tusuk dengan Salib. Darah tumpah ruah, jerit sipelayan membelah langit. Mati.
Marquis dijatuhi hukumaan, ia dipenjarakan selama 6 bulan di Vicennes. Ketika mendapat kebebasan, Marquis kembali berulah: Ia menguliti tubuh seorang pelacur menggunakan belati, dan ia menuangkan lelehan lilin di atas daging yang merah itu. Menjijikan. Akibat perbuatannya ini, Marquis tidak dimasukan ke penjara, tapi ke rumah sehat (sakit) jiwa. Carreton namanya.
Rumah sehat jiwa yang diasuh seorang pastur bernama Coulmier ini, membuat Marquis betah. Dunia yang di dambakannya hampir semua ada: perpustakaan dengan buku-buku dunia, les musik, teater, dan pelatihan melukis. Dari semua pekerjaan yang dilakukan, ada satu kegiatan yang membuat ia tergila-gila, yaitu menulis cerita seksual, yang baginya merupakan 'kebenaran sejati yang mengikat seluruh manusia'.
Dibanding penghuni lain, Coulmier begitu memanjakan Marquis. Semua yang diinginkan dan dibutuhkannya di kamar rumah sehat, selalu saja dipenuhi. Mulai dari ranjang bulu, kursi sofa, barang antik, meja, pen bilu dan kertas. Bahkan demi kesembuhan jiwanya, Coulmier mengijinkannya menulis cerita-cerita seksualnya yang begitu mesum, cabul, dan binal. Dengan satu syarat, hanya untuk konsumsi pribadi.
Marquis tentu senang dengan pelayanan yang diberikan Aang Pastir, tapi lama kelamaan, ketika tulusannya swmakin menumpuk, ia muak juga jika harus dibacanya sendiri. Ia ingin seluruh maayarakan Prancis membaca ide-idenya. Akhirnya tanpa sepengetahuan Coulmier, Marquis menyewa seorang tukang sprei berparas cantik bernama Madelline, yang sering bolak-balik kamarnya, untuk mengirimkan tulisan-tulisannya kepada penerbit.
Tidak lama kemudian, tulisan Marquis pun terbit. Menyebar keseluruh Prancis. Dibacakan di pasar-pasar, diungkapkan di gang-gang, sampau diam-diam bukunya menyelnap masuk ke Istan kerajaan. Meski dirinya seorang pembaca, ketika membaca buku Marquis yang penuh Cabul, Sang Kaisar Napoleon Bonaparte tenggelam dalam murka. Ia minta pengawalny untuk menghancurkan buku-buku Marquis, membakarnya sampai habis. Bahkan ia mengirimkan seorang Ilmuan bernam Dr Royer Collard ke rumah sehat Carreton, unyuk menghentikan ulah Marquis, kalau perlu menghukum matinya.
Kepada Coulmier, Dr. Royer Collard mengancann akan menutup rumah sehat Carreton jika ia tidak menghentikan kegiatan Marquis dalam menulis. Mendengar pengaduan itu, Coulmier bukan main marahnya. Ia merasa Marquis telah menghianatinya diam-diam. Didatangainya Marquis yang sedang menulis, membujuknya, merayunya, dan meminta dengan sangat agar Marquis tak lagi menulis.
Bagi Marquis, teman-teman sejatinya adalah tokoh-tokoh ciptaannya. Ia tidak memperdulikan permintaan Coulmier, ia tetap menuliskan semua cerita yang ada di batol kepalanya. Merasa permintaannya tidak dipenuhi, Coulmier tidak hanya menasihati Marquis, tapi kali ini ia merampas semua kertas dan pena yang biasa dipakai Marquis untuk menulis.
Aku telah diperkosa...aku telah diperkosa.!teriak Marquis, ketika Coulmier mengambil kertas dan pena bulunya. Ia memohon, ia merintih dan mengiba, tapi Coulmier tetap pada pendiriannya. Karena tak bisa lagi menulis, berhari-hari di dalam kamarnya Marquis hanya melamun, ia benar-benar kesepian, melebihi kematian.
Baginya, tak ada penyiksaan yang lebih keji, selain kegiatan menulisnya dipaksa berhenti. Dalam ketersiksaannya ini, Marquis terus memutar otaknya, bagaimana caranya bisa menulis lagi. Sampai pada satu saat, ketika diriny disuguhi hidangan makan malam, ada ide ada ide yang terbit saat melihat daging ayam dan minuman anggur. Ia jadikan tulang ayam sebagai pena, anggur sebagai tinta, dan seprei sebagai kertas. Ia menulis lagi, ia tertawa lagi, bahagia. Saat Madellien mendatangi kamarnya, Marquis meminta agar tulisannya yang ada di sprei disalin ulang diatas kertas, lalu diberikan kepada penerbit supaya dicetak dan disebarkan.
Buku Marquis kembali tercipta, menyebar ke setiap kota dan desa. Mengetahui ini, Coulmier hanya mengusap dada, ia kebingungan dalam mencari cara agar Marquis tak lagi menulis. Tekanan dari kaisar dan Dr. Royer Collard, membuatnya terpaksa mengambil semua barang yang ada di kamar Marquis. Tanpa sisa. Kecuali hanya pakaian yang dikenakan Marquis. Tak ada kasur, tak ada kursi, tak ada meja, tak ada barang antiknya, semuanya. Hidupnya berwujud nenjadi siksa.
Seperti prinsipnya bahw "Dalam tekanan, Seniman justru berkembang", Marquis tak kehabisan cara. Demi bisa menuliskan ide-idenya, sekarang ia memotong jari-jariny. Darah yang muncrat dijadikannya tinta dan baju yang dikenakannya dia ubah menjadi kertas. Edan. Benar-benar edan.! Dia tak pernah menyerah. Dia tertawa melakukan ini semua. Kemarahan Coulmier kembali tersulut melihat perilaku Marquis. Tak ada cara lain, ia menelanjangi Marquis seperti Binatang. Memenjarakannya di ruang bawah tanah, dirantai dan diborgol. Marquis tak berdaya.
Bukan seorang Marquis jika kehabisan akal dan cara. Ada 5 sel tahanan di pinggirnya. Setiap sel ada seorang gila yang disekap. Ia meminta mereka untuk membantunya menulis. Mereka setuju. Kepada orang gila pertama Marquis membisikkan idenya, lalu orang gila pertama membisikki orang gila kedua, orang gila kedua membisikki orang gila ketiga, orang gila ketiga membisikki orang gila keempat, orang gila keempat membisikki orang gila kelima. Dan yang dibisikki orang gila kelima adalah Madelline, yang memang telah dipersiapkan Marquis untuk menuliskan bisikan orang-orang gila ini di ujung sel tempat mereka dipenjara, yang kebetulan merupakan tempat mencuci sprei. Aku terperangah pada adegan ini. Aku yakin, Marquistelah memperhitungkan caranya ini. Dia tahu, ide yang harus ditulis Madelline itu bisa saja berbeda setelah melewati otak-otak orang gila ini, pasti akan terjadi kekacauan komunikasi. Tapi kata-kata Marquis membuatku terperangah,
Prosa agungku ini, disaring oleh pikiran-pikiran orang gila. Semoga mereka bisa menyempurnakannya.
Apa yang dilakukan Marquis, diketahui oleh Coulmier. Lelaki yang diberi gelar ‘si bijak’ ini kehabisan cara, hampir putus asa, bagaimana membungkam Marquis agar tak lagi menulis. Atas tekanan Kaisar, dengan terpaksa ia mencabut lidah Marquis menggunakan tangannya sendiri. Sang penulis terkulai lemah, darahnya tumpah ruah melalui mulutnya, sampai habis, sampai beku, sampai tak ada lagi yang tersisa untuk dijadikan tinta. Walah.
Aku terdiam, tak sabar menunggu apa yang akan Marquis lakukan lagi. Tak ada satu benda pun yang ia miliki, menulis telah jadi musykil. Tubuhnya runtuh, suaranya sirna, darahnya mengering, tinggal menunggu mati. Di salah satu ruang Carreton, terlihat Sang Pastur yang tunduk menyesal, karena bagaimana pun Marquis adalah temannya. Berbeda dengan Sang Ilmuan yang mendamik dada, berbangga atas caranya menghentikan Marquis menulis cerita. Tapi tiba-tiba, dengan wajah gugup seorang penjaga masuk ke ruangan mereka, terbata-bata ia menceritakan apa yang dilihatnya di sel si penulis gila, “Tuan, Marquis masih mampu menulis di dinding selnya..”
Dengan apa Marquis menulis? Bukankah dia sudah tak punya apa-apa lagi selain imaji? Coulmier dan Dr. Royer Collard segera berlari ke tempat Marquis disekap, yang berada di ruang bawah tanah. Melihat ruang sel Marquis, mereka tak mengedipkan mata, tak percaya dengan apa yang dilihatnya, mereka berteriak, bahkan menangis sejadi-jadinya. Terutama sang Pastur. Bukan karena mereka melihat Marquis yang sudah tergeletak tak berdaya, tapi karena kali ini yang menjadi tinta untuk menyampaikan ide-idenya bukanlah darah, nanah, atau bisikan, tapi tahi, kotorannya sendiri sebelum mati.
Dikutip dari Novel ‘PERPUSTAKAAN KELAMIN’ Karya Sanghyang Mughni Pancaniti.
0 komentar
Post a Comment