Orang tua indah itu, yang tinggal dipuncak merapi (KM 4 dari pusat erupsi puncak merapi) adalah sebuah penanda zaman yang masih tersisa (lokal geneuin). Area itu menjadi jujugan para pendaki, tepatnya Dusun Kinahrejo Desa Umbulharjo Cangkringan Sleman.
Orang tua itu adalah seorang abdi ndalem dari Ngarso Dalem dengan nama peparing sinuhun, "Ki Surakso Hargo". Namun belakangan, orang lebih mengenalnya mashur dengan sebutan Mbah Marijan. Beliau adalah katitah sebagai, "Surakso = penjaga, Hargo = gunung" yang berarti penjaga / pakuncen Gunung Merapi.
Ia juga selegendaris Mbah Samsuri yang profesinya sama yaitu menjaga gunung Slamet. Banyak pelajaran yang didapat dari Mbah Marijan soal kesetiaan pada alam, kesehajaan dan spritualitas.
Pertama, piwulang yang amat langka dari hidup Mbah Marijan adalah kesetiaan, dedikasi, integritas dan kesederhanaan. Banyak saya dengar dari pecinta alam atau seniman yang mau "menggembleng roso" dipuncak merapi, sambil menikmati kebul-kebul kopi jahe, tempat anget, ote ote, rondo royal, telo godok, bakwan dan semangkok super mie instan yang ditaburi tugelan tugelan cabe rawit. Sungguh sorga sesaat dipuncak gunung
Mbah Marijan sering medar dalam ucapan mistiknya, "Kabeh wong bakale mati, menowo aku mati sebab redi Merapi, wis ginaris patiku (semua orang bakal mati, kalau saya mati karena Merapi, itu sudah takdirku).
KH. Hasyim Muzadi ketika menjadi ketua PBNU pernah mendapat paweling beliau, "sedoyo poro piageng sageto TEMEN sak temen-temeni supoyo dunyo tentrem" (Semua pembesar supaya bisa jujur sejujur-jujurny supaya dunia tentram). Boleh saya katakan secara subyektif, beliau adalah pemberi tanda dari, "serat jendra memayu hayuningrat" yang sering memberi ismat dari jagad besar bernama Nusantar ini.
Kedua, Mbah Marijan (juga Mbah Samsuri Gunung Slamet) sangat faham benar hal ikhwal etika ekologis. Etika yang mengajarkan bahwa harus, "manjing ing kahanan" (live in) dengan membiarkan alam hidup sesuai dengan kemauannya. Maka rumus gampangane, "jika manusia ingin hidup tenang maka hormatilah hak hidup alam jika tidak ingin diganggu bencana alam".
Pramodya Ananta Toer pernah menulis reportase kematian di pulau buru dalam NYANYIAN SUNYI SEORANG BISU. Begitu dekat kematian mengintai kehidupan tanpa nisan maka selagi kematian belum tiba maka berbuatlah dan bertindaklah semaksimalnya di dunia. Kata Chairil," sekali berarti sesudah itu mati".
Mbah Marijan menemukan kematian yang indah. Dalam posisi sujud, "kepasrahan totalitas pada Gusti" sebentuk debosi yang tidak main-main ketika lahar panas mengepungnya. Ia mati sebagai orang gugur dalam tugas dan sejarah mencatatnya sebagai keteguhan. Semoga Mbah... al faatihah.
Sumber: Ustadz El-fath Rochman
0 komentar
Post a Comment