Monday, March 27

Gus Ishom: Saya Tidak Mengatakan al-Maidah ayat 51 Tidak berlaku lagi, tidak Relevan. Adalah Berita Hoax

Tabayyun setelah sidang ke-15 kasus penodaan Agama

Oleh: Kiyai Ahmad Ishomuddin

Beberapa waktu lalu saya diminta oleh penasehat hukum bapak BTP (Ahok) untuk menjadi saksi ahli atas kasus penodaa agama yang didakwakam kepadanya.

Penasehat hukum dalam UU Advokat juga termasuk penegak hukum di negara konstitusi Repulik Indonesia, sebagai mana dewan hakim dan para JPU (Jaksa penuntut Umum). Karena kesadaran hukumlah saya bersedia hadir dan menjadi saksi dalam sidang ke-15.


Saya menyadari betul dan sudah siap mental menghadapi resiko apa pun, termasuk mempertaruhkan jabatan saya yang sejak dulu saya tidak pernah memintanya, yakni baik sebagai Rasi Syuriah PBNU periode 2010-2015 dan 2015-2020) maupun wakil ketua komisi Fatwa MUI pusat (2015-2020), demi turut serta menegakkan keadilan itu.

Sebab, sepertinya umat Islam sudah lelah dan kehabisan energi karena terlalu lama mempersengketakan kasus BPT (Ahok). Sebagaimana umat yakin ia pasti bersalah dan sebagin lagi menyatakn belum tentu bersalah menistakan Qs. al-Maidah ayat 51.

Oleh sebab itu, persengketaan dan perselisihan tersebut segera diselesaikan di pengadilan, agar di negara kita tidak memutuskan hukum sendiri-sendiri. Saya hadir, sekali lagi saya nyatakan, di persidangan karena diminta dan karen ingin turut serta terlibat untuk menyelesaikan konflik seadil-adilnya di hadapan dewan hakim yang terhormat.

Saya hadir di persidangan bukan atas nama PBNU, MUI, maupun IAIN Raden Intan Lampung, melainkan sebagai pribadi. Tidak mewakili PBNU dan MUI karena sudah ada yang mewakilinya. Saya bersedia menjadi saksi ahli pada saat banyak orang yang diminta menjadi saksi ahli pada saat banyak orang yang diminta menjadi saksi ahli pihak pak Basuki Tjahaya Purnama berpikir-pikir ulang dan merasa takut ancaman demi menegakkan keadilan.

Dalam hal ini saya berupaya menolong para hakim agar tidak menjatuhkan vonis kepadanya secara tidak adil (zalim), yakni menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan orang yang salah.

Tentu karena saya juga berharap agar seluruh rakyat Indonesia tenang dan tidak terus menerus gaduh apapun alasannya hingga vonis dewan hakim diberlakukan. Rakyat harus menerima keputusan hakim agar tidak ada lagi anak bangsa ini main hakim sendiri di negara hukum.

Saya hadir sebagai saksi ahli agama karena dinilai ahli oleh para penasehat hukum terdakwa, dan di muka persidangan saya tidak mengaku sebagai ahli tafsir, melainkan fiqh dan ushul al-fiqh. Suatu ilmu yang sejak lama saya tekuni dan saya ajarkan kepada penuntut ilmu.

Namun, itu bukan berarti saya buta dan tidak mengerti sama sekali dengan kitab-kitab tafsir. Alhamdulilah, saya dianugerahi oleh Allah kenikmatan besar untuk mampu membaca dan memahami dengan baik berbagai referensi agama seperti kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, bukan dari buku-buku terjemaahan. Semua itu adalah karena barakah dan sebab doa dari orang tua dan para kiyai saya di berbagai Pondok Pesantren.

Saat saya ditanya tentang pendidikan terakhir saya oleh ketua majelis hakim, saya menjawab bahwa pendidikan formal terakhir saya adalah Strata 2 konsentrasi Syari'ah. Saya memang belum bergelar Doktor, meski saya pernah kuliah hingga semester 3 di program S-3 dan tinggal menyusun disertasi namun sengaja tidak saya selesaikan. Jika ada yang menyebut saya Doktor saya jujur dengan mengkelarifikasinya, sebagaimana saat orang menyebut saya Haji, karena benar saya nelum haji.

Bagaimana saya mampu berhaji, saya miskin dan banyak orang yang tahu bahwa saya skeluarga hidup sederhana di rumah kontrakan yang sempit. Namun sungguh saya tidak bermaksud melakukan pembohongan publik. Saya yakin sepenuhnya bahwa penguasaan ilmu dan keilmuan itu adalah diberikan oleh Allah kepada para hamba yang dikehendaki-Nya dan karenanya saya tidak merendahkan siapa saja.

Titel kesarjanaan, gelar panggilan kyai haji, dan pangkat bagi saya bukanlah segalanya.

Saya berusaha menghormatinya siapa saja yang menjaga kehormatannya. Bagi saya berbeda pendapat adalah biasa dan wajar saja dan karenanya saya tetap menaruh hormat kepada siapa saja yang berbeda dari saya, terutama kepada orang yang lebih tua, lebih-lebih kepada para kiyai sepuh.

Dalam persidangan ke-15 itu tentulah saya menjawab dengan benar, jujur, tanpa sedikitpun kebohongan, di bawah sumpah semua pertanyaan yang diajukan, baik oleh Majelis Hakim, para penasehat Hukum, maupun para jaksa penuntut umum (JPU).

Apabila para saksi, baik saksi fakta maupun saksi ahli, yang diajukan JPU lebih bersifat memberatkan terdakwa karena yakin akan kesalahannya, maka saya sebagai saksi ahli agama yang diajukan oleh para penasehat Hukum bersifat meringankannya, selanjutnya nanti majelis hakimlah yang akan memutuskannya.

Kesaksian itu saya berikan berdasarkan ilmu, sama sekali bukan karena dorongan hawa nafsu seperti karena ingin popularitas, karena uang dan atau keuntungan duniawi lainnya. Sungguh tidaklah adil dan bertentangan dengan konstitusi jika saya disesalkan, dilarang, dimaki-maki diancam dan bahkan difitnah karena kesaksian saya itu, baik diduni nyata maupun di dunia maya.

Sangat disesalkan bahwa gelombang fitnah dan teror telah menimpa saya, terutama di media sosial yang kebanyak ditulis dan dikomentari tanpa tabayyun. Berita yang beredar tentang diri saya dari sisi-sisi yang tidak benar langsung dipercaya dan segera terburu-buru disebarluaskan.

Di antaranya berita bahwa saya menyatakan bahwa Qs. al-Maidah ayat 51 tidak berlaku lagi, tidak relevan, atau expaired. Berita itu berita bohong (hoax). Yang benar adalah bahwa saya mengatakan bahwa konteks ayat tersebut dilihat dari sebab an-nuzulnya terkait larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi nabi, para sahabatnya, dan mengingkari ajarannya. Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur.

Adapaun kini terkait pilihan politik ada kebebasan memilih, dan jika berbeda hendaklah saling menghormati dan tidak perlu memaksakan pendapat dan tidak usah saling menghujat. Kata "awliya" yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas terkategori musytarak, memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multi tafsir. Pernyataan saya tersebut saya kemukakan setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling klasik hingga yang paling konteporer.

Saya sangat mendambakan dan mencintai keadilan. Oleh sebab itu, setiap ada berita penting menyangkut siapa saja, baik muslim maupun non muslim, lebih-lebih jika menyangkut masa depan dan menentukan baik-buruk nasibnya, maka jangan tergesa-gesa di percaya.

Untuk menilai secara adil dan menghindarkan kezaliman menimpa siapa pun maka berita itu harus diteliti benar tidaknya dengan hati-hati, wajib dilakukan tabayyun (karifikasi) kepada pelakunya atau ditanyakan kepada warga di tempat kejadian perkara.

Dalm hal ini terkait pak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) saya tahu bahwa dalam mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI pusat tidak melakukan Tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu, baik terutama kepada pak BTP (Ahok) maupun langsung kepada sebagian penduduk kepulauan seribu, karena MUI pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan Al-Qur'an dan Ulama.

Padahal dalam al-Qur'an diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan sebaliknya dilarang Zalim, kepada siapa saja meskipun terhadap orang yang dibenci. Maka janganlah berlebihan dalam hal apa saja, termasuk jangan membenci berlebihan hingga hilang rasa keadilan.

Bila kemudian saya menyatakn pendapat yang berbeda dengan ketua Umum MUI (KH. Ma'ruf Amin) sebagai saksi fakta dan Wakil Rais Aam PBNU (KH. Miftahul Akhyar) sebagai saksi ahli agama di sidang pengadilan itu, maka itu hal biasa, wajar, dan hal yang lazim saja. Bagi saya berbeda pendapat itu tidak menafikan penghormatan saya kepada dua kiyai besar tersebut.

Dalam hal yang didasari oleh ilmu, bukan hawa nafsu, berbeda itu iasa dan merupakan sesuatu yang berbeda dari persoalan penghormatan. Sebagai muslim saya terus memerangi nafsu untuk bersikap tawadlu' (rendah hati) sepanjang hayat.

Terhadap setiap pujian kepada saya, saya tidak bangga dan saya kembalikan kepada pemilik semua pujian yang sesungguhnya, Allah Ta'ala. Sebaliknya, terhadap caci maki, celaan , fitnah dan apa saja yang menyakiti hati saya tidak kecewa dan tidak takut, karena saya menyadari keberadaan para pencaci di dunia maya yang sementara ini.

Saya harus berani menyampaikan apa yang menurut ilmu benar. Rasanya percuma hidup sekali tanpa keberanian, dan menjadi pengecut. kebenaran wajib disampaikan betapa pun pahitnya.

Hanya kepada Allah saya memohon petunjuk dan perlindungan. Semoga kota dijauhkan dari kezaliman, kejahatan syetan (jenis manusia dan jin), dan dijauhkan dari memperturutkan hawa nafsu.

(Baca Juga: Tiga Ulama Klasik: Apa Syarat Jadi Pemimpin)


0 komentar

Post a Comment