Tuesday, January 10

Ahlak Manusia Paling Sempurna



Pada zaman Baginda Rasulallah Shallallahu Alaihi Wassalam dahulu, Al-Qur'an tidak seperti sekarang ini, tapi berbentuk "serpihan-serpihan yang terserak di banyak tempat". Ada yang dicatat, ada juga yang tidak dicatat karena mudah dihapal.

Ayat Al-Qur'an yang tercatat pun tidak ditulis pada satu wadah. Ada yang ditulis pada kulit binatang, ada yang ditulis pada lempengan batu, ada yang ditulis pada tulang binatang.


Singkat cerita, atas inisiatif Sayyidina Umar bin Khatab R.A, agar Al-Quran tetap terjaga hingga akhir zaman, khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq R.A. setuju ayat-ayat Al-Qur'an yang selama ini tersebar di kalangan para sahabat untuk disatukan menhadi sebuah kitab. Maka dari itu itu, segera dibentuklah sebuah panitia kecil untuk menangani proses pembukuan Al-Quran, yang terdiri dari beberapa sahabat yang sangat teliti, memikiki daya hafal luar biasa, dan keterampilan menulis indah.

Ada sebuah cerita menarik pada proses pengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an menjadi satu kitab. Panitia pembukuan Al-Qur'an memberlakukan aturan yang sangat ketat. Ketika ada orang yang datang mengaku ingin menyetorkan hapalannya/catatannya, pengakuan orang tersebut tidak boleh lantas diterima begitu saja. Orang tersebut harus mampu menghadirkan dua orang saksi yang membenarkan pengakuan-nya. Hal ini dilakukan demi menjaga keaslian isi Al-Qur'an.

Semua sahabat yang ingin menyetor, wajib mematuhi peraturan tersebut. Tapi, aturan tersebut tidak diberlakukan Sayyidina Umar bin Khatab R.A. untuk shabat Khuzaimah Al-Anshari. Beliau terdiam sejenak ketika Sayyidina Khuzaimah Al-Anshari menyetorkan ayat ke128 surat At-Tubah. Beliau langsung menerima tanpa proses pemanggilan dua orang saksi, karena ayat tersebut pasti benar. Surat At-Taubah ayat 128 memang menceritakan karakter Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalm dengan sangat tepat. Konon Sayyidina Umar bin Khatab R.A hanya berkomentar singkat "Memang begitulah adanya Rasulallah Shallallahu Alaihi Wassalam..."

***

Laqadjaa akum rasuulin min anfusikum 'aziizun alahi maa'anittum hariishun 'alaikum bil mu'miniin rauufun rahiim. (QS.At-Taubah: 128)

Kira-kira terjemahaannya bahasa indonesianya seperti ini: Benar-benar telah datang kepada kalian seorang utusan dari kalangan kalian sendiri yang berat terasa olehnya (tidak tahan ia melihat) penderitaan kalian, sangat menginginkan (keselamatan dan kebahagiaan) bagi kalian, dan terhadap orang-orang beriman, bersikap penuh kasih lagi penyayang.

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah manusia istimewa, beliau tidak pernah menangis, beliau hanya selalu mengisi. Menangis adalah peristiwa pribadi, sedangkan mengisi adalah peristiwa sosial. Beliau tidak pernah menangis, karena beliau sudah tidak pernah memikirkan dirinya sendiri. Beliau selalu menangisi, karena beliau hanya selalu memikirkan nasib orang lain. Linangan air mata beliau adalah selalu untuk orang lain. Maka dari itu, dalam ilmu tasawuf, diajarkan bahwa surga adalah tempat orang-orang yang rendah hati dan sibuk melayani orang lain.

Setiap orang di hari akhir akan bersama tokoh panutannya, dan tinggal di tempat yang sama dengan tokoh panutannya. Seperti yang kita ketahui bersama, tempat tinggal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah surga. Surat At-Taubah ayat 128 sangat tepat mwnggambarkan sosok panutan agung kita. Nabi Muhammad Shallallahu Alihi Wassalam adalah manusia yang paling mengerti manusia dan yang paling pandai memanusiakn manusia lain. Baginda rasul adalah orang yang paling berprikemanusiaan.

Agama Islam memiliki sebutan "agama manusia", maka pembawa risalah tersebut haruslah manusia yang paling "manusi". Bukan hal aneh kalau agama Islam sukses beliau dakwahkan. Hal itu karena beliau adalah manusia yang memiliki hati paling lembut. Kepada siapa saja, beliau sangat berbelas kasih. Tak hanya kepada para sahabat, kepada orang-orang yang enggan beragam islam pun, beliau sangat ramah dan tulus menyayangi. Jadi sangat wajar kiranya sahabat Umar bin Khatab R.A. langsung membenarkan setoran surat At-Taubah ayat ke-28 dari sahabat Khuzaimah Al-Anshari, karena memang begitulah karakter junjungan kita kanjeng Nabi datang bukan hanya untuk menyempurnakan ajaran agama tauhid, tapi juga untuk menyempurnakan ahlak.

Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah manusia yang paling manusia. Semua manusia dimanusiakan oleh beliau, karena kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alihi Wassalam mengenal dirinya sendiri. Beliau menyayangi semua orang, karena beliau tahu hakikat setiap manusia adalah ingin disayangi. Maka dati itu, kanjeng Nabi Muhammad Shallallhu Alaihi Wassalam adalah orang yang paling tidak tahan melihat orang lain menderita dan selalu menginginkan kebahagian untuk orang lain.

***

Seperti sering diceritakan Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan, semua penduduk kota Madinah diliputi kebahagiaan. Menu makanan lebih lezat dan lebih lengkap dari pada biasanya. Hilir-mudik anak kecil berlarian di sekitar mesjid dengan riang. Orang-orang dewasa mengenakan baju yang bagus-bagus.

Hari itu adalah Idul Fitri. Tapi, ada satu orang yang hancur hatinya dihati yang penuh kebahagiaan itu, dan ia masih anak kecil.

Anak kecil malang itu sebenarnya kurang tepat disebut di kota Madinah, karena ia berada di atas tebing. Anak kecil itu duduk sendirian di atas tebing, karena ingin mwnghibur diri yang tengah sangat kesepian. Ia ingin mencicipi sedidkit kegembiraan di hari raya dengan memandangi penduduk kota Madinah yang tengah sangat bergembira dari atas.

Ia bicara sendiri, lalu ia tertawa sendiri. Begitu terus. Ia memang sedang mencoba menghibur dirinya sendiri. Anak malang itu memang sengaja membawa kain surban, karena khawatir wajah sedihnya dilihat orang banyak dan malu baju lusuhnya dilihat anak-anak lain. Ia takut ditertawakan penduduk Madinah. Ia sendirian dan kesepian. Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam pun tau hal itu.

Naiklah beliau ke atas tebing dan disapalah anak yang sangat malang itu. Anak tersebut membuka kain surbannya dan kaget melihat kanjeng Nabi datang. Tanpa menjawab, anak tersebut langsung memeluk tubuh Baginda Rasulallah Shallallahu Alaihi Wassalm, sambil membayangkan yang datang adalah orang tuanya. Sembari tubuh agung beliau dipeluk sangat erat, Kanjeng Nabi pun mengelus-ngelus kepala anak kecil kesepian iti penuh kasih sayang.

Kemudian Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam duduk dan memangku anak kecil itu. Baginda Rasul pun bertanya, "Wahai anakku, kenapa tidak bermain seperti anak-anak yang lain di hari yang penuh barokah ini?" Bocah kesepian tersebut menjawab, "Saya malu ya Rasulallah....lihat sendiri baju saya sudah tambalan begini." Baginda Nabi Muhammad Sahallallahu Alaihi Wassalam terdiam sejenak, lalu bertanya lagi, "Wahai anakku, dimanakah bapakmu?" Bocah malang itupun langsung menjawab, "Bapak saya adalah syuhada perang Uhud, ya Rasulallah..." Baginda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam terkejut, karena ternyata bocah laki-laki tersebut mirip seperti diri beliau; anak yatim. "Wahai anakku, lalu kemana ibumu, nak?" Tanya Kanjeng Nabi lagi. Anak yatim itu menjawab dengan getir, "Ibu saya sudah menikah lagi, tapi sampai sekarang saya menunggu tak kunjung datang, ya Rasulallah..." Baginda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam semakin terdiam mendengar jawaban itu.

Langsung beliau mengangkat tubuh bocah kesepian tersebut dan memanggulnya di pundak, seraya berkata, "sekarang aku ayahmu, nak! Mulai sekarang aku yang akan melindungimu, jangan berkecil hati, wahai anakku. Aku adalah yang akan melindungimu, besarkanlah hatimu, wahai anakku."

Diajaklah anal kecil itu turun sambil dipanggul. Anak kecil tersebut untuk pertama kalinya bisa terswnyum bahagia di hari raya. Dengan penuh kasih sayang, Kanjeng Nabi mengajak anak tersebut membeli pakaian yang bagus, bahkan beliau sendiri yang memandikannya.
Begitu dahsyatnya ahlak junjungan agung kita. Beliau adalah manusia yang satu kata satu perbuatan. Ucapan beliau adalah agama Islam, perilaku beliau pun adalah agama Islam.
Baginda Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam adalah yang mengatakan seorang muslim hendaknya pandai memanusiakn orang lain, dan beliau adalah pihak pertama yang mencontohkan.

Baginda Nabi Muhammad sudah meneladankan ahlak yang mulia, tapi sudahkah kita meneladani ahlak beliau? Ataukah jangan-jangan kita malah jadi luoa caranya menjadi "manusia" karena sudah merasa pandai ilmu agama dan rajin beribadah? Apa kita tidak malu?

Allahumma Shalli 'Ala Sayyidina Muhammad.


0 komentar

Post a Comment