Mungkin saat ini ada beberapa anak muda yang meremehkan jasa Bung Tomo di palagan 10 Nopember 45. Bukankah dia CUMA orator yang hanya bisa mrongos nyocot di ujung mikropon? Hih!
Hambok dibayangkan gundulmu itu ada di ujung Oktober 45, di saat pemenang Perang Dunia II dengan jumawa membombardir Surabaya dari laut dan udara, lalu dilanjut gerak pasukan darat. Jika tidak ditopang fatwa jihad ulama sebagai legitimasi perjuangan disertai empasan suara takbir yang menggelegar dari corong radio yang terus dikumandangkan, mungkin mustahil "Neraka Surabaya"dikenang veteran Inggris.
Kalaupun disebut Bung Tomo nggak hadir secara fisik pada saat 10 Nopember 45, lalu akankah mengurangi nilai perjuangannya? Oh, tidak. Karena sebagai propagandis corong radio, kepalanya jelas menjadi target buruan Sekutu. Apa dengkulmu mengira jika menyuarakan agitasi via radio zaman lampau, di tengah perang, semudah cocotmu siaran hari ini?
Gelegar suara Bung Tomo sampai sekarang masih bisa diperdengarkan dan kita masih merasakan getaran-getaran misterius itu. Datang dan silahkan berkunjung ke museum 10 Nopember di Tugu Pahlawan. Atau, ayolah, dengarlah rekaman suara yang menggerakkan ini. Lupakan sejenak debat soal Ahok yang buang-buang energi itu. Dengarkan, dengarkan takbir yang menggelegar itu, kawan! Kau tak merasakan dentuman energi dalam pidato yang membelalakkan jiwa itu? Aih, jangan-jangan telingamu tersumpal kepongahanmu.
Bung Tomo itu orang yang pas dalam kondisi yang tepat atawa the right man on the right place. Memisahkan heroisme 10 Nopember dengan suaranya adalah sama halnya membetot daging dari tulangnya. Dia sekali hadir, memberi karakter, lalu tetap dikenang sepanjang masa. Dia adalah orang yang tepat pada sebuah peristiwa. Bagai Andreas Brehme dalam final Jerman vs Argentina di Piala Dunia 1990. Sebiji gol untuk supremasi ras Arya di lapangan hijau. Ah, bukankah dia HANYA eksekutor pinalti, kawan? Ah, hanya.
Bukankah Bung Tomo HANYA orator? Hmmm, hanya, katamu? Kelak mungkin kau bakal mengatakan bukankah Tirto Adhi Surjo HANYA pendiri selembar koran di atas dluwang? Bukankah Tjokroaminoto HANYA bapak kos? Bukankah Sukarno hanya peromantis yang nggak pernah dibuang di Digoel? Bukankah Hatta hanya penulis yang kita ragukan pernah pegang pistol atau tidak? Bukankah dia hanya, dan dia hanya atau dia hanya...asudahlah!
Penulis: Sayyid Rijal Mumaziq Z.
Simak videonya dibawah ini.
Hambok dibayangkan gundulmu itu ada di ujung Oktober 45, di saat pemenang Perang Dunia II dengan jumawa membombardir Surabaya dari laut dan udara, lalu dilanjut gerak pasukan darat. Jika tidak ditopang fatwa jihad ulama sebagai legitimasi perjuangan disertai empasan suara takbir yang menggelegar dari corong radio yang terus dikumandangkan, mungkin mustahil "Neraka Surabaya"dikenang veteran Inggris.
Kalaupun disebut Bung Tomo nggak hadir secara fisik pada saat 10 Nopember 45, lalu akankah mengurangi nilai perjuangannya? Oh, tidak. Karena sebagai propagandis corong radio, kepalanya jelas menjadi target buruan Sekutu. Apa dengkulmu mengira jika menyuarakan agitasi via radio zaman lampau, di tengah perang, semudah cocotmu siaran hari ini?
Gelegar suara Bung Tomo sampai sekarang masih bisa diperdengarkan dan kita masih merasakan getaran-getaran misterius itu. Datang dan silahkan berkunjung ke museum 10 Nopember di Tugu Pahlawan. Atau, ayolah, dengarlah rekaman suara yang menggerakkan ini. Lupakan sejenak debat soal Ahok yang buang-buang energi itu. Dengarkan, dengarkan takbir yang menggelegar itu, kawan! Kau tak merasakan dentuman energi dalam pidato yang membelalakkan jiwa itu? Aih, jangan-jangan telingamu tersumpal kepongahanmu.
Bung Tomo itu orang yang pas dalam kondisi yang tepat atawa the right man on the right place. Memisahkan heroisme 10 Nopember dengan suaranya adalah sama halnya membetot daging dari tulangnya. Dia sekali hadir, memberi karakter, lalu tetap dikenang sepanjang masa. Dia adalah orang yang tepat pada sebuah peristiwa. Bagai Andreas Brehme dalam final Jerman vs Argentina di Piala Dunia 1990. Sebiji gol untuk supremasi ras Arya di lapangan hijau. Ah, bukankah dia HANYA eksekutor pinalti, kawan? Ah, hanya.
Bukankah Bung Tomo HANYA orator? Hmmm, hanya, katamu? Kelak mungkin kau bakal mengatakan bukankah Tirto Adhi Surjo HANYA pendiri selembar koran di atas dluwang? Bukankah Tjokroaminoto HANYA bapak kos? Bukankah Sukarno hanya peromantis yang nggak pernah dibuang di Digoel? Bukankah Hatta hanya penulis yang kita ragukan pernah pegang pistol atau tidak? Bukankah dia hanya, dan dia hanya atau dia hanya...asudahlah!
Penulis: Sayyid Rijal Mumaziq Z.
Simak videonya dibawah ini.
0 komentar
Post a Comment